Sorak penonton bergema di seluruh arena, sementara cahaya lampu memantul di wajah seorang juara dunia yang masih terengah. Di bahunya tergantung sabuk berwarna hijau zamrud—kilau logamnya menandai kemenangan yang baru saja diraih setelah pertarungan panjang.
Itulah sabuk World Boxing Council (WBC), simbol keagungan yang selama lebih dari enam dekade menjadi impian setiap petinju profesional.
Bagi sebagian orang, sabuk itu hanya trofi. Tapi bagi mereka yang pernah mengangkatnya, warna hijau WBC bukan sekadar kain sintetis dengan logo di tengah. Ia adalah lambang perjuangan, darah, air mata, dan kebanggaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Sedikit yang tahu bahwa sabuk legendaris ini lahir bukan dari ketenangan, melainkan dari perpecahan. Tahun 1963, sebelas negara berkumpul di Mexico City untuk memutuskan hal besar: membentuk organisasi baru yang kelak dikenal sebagai WBC. Mereka ingin aturan tinju yang lebih adil, lebih aman, dan lebih menghargai petarung.
Dari sana, warna hijau mulai membawa makna baru. Ia menjadi simbol harapan—harapan bahwa dunia tinju bisa lebih manusiawi.
Enam puluh tahun kemudian, sabuk WBC telah berkeliling dunia, berpindah dari tangan Muhammad Ali, Mike Tyson, hingga Canelo Álvarez. Setiap kali sabuk hijau dikalungkan di atas ring, dunia tahu: seseorang baru saja menulis sejarahnya sendiri.
Namun, di balik semua kemegahan itu, tersimpan kisah tentang politik olahraga, ambisi global, dan mimpi besar untuk membangun sistem yang lebih adil.
Itulah cerita yang akan kita telusuri: dari kelahirannya di Mexico City hingga menjadi simbol paling berpengaruh dalam sejarah tinju modern.
“Hijau bukan sekadar warna kemenangan. Ia adalah janji abadi bagi mereka yang pernah berdiri di puncak dunia.”
1.Asal-Usul Berdirinya WBC

Segalanya bermula pada tahun 1963 di Mexico City, dalam sebuah pertemuan yang mungkin tak pernah dibayangkan akan mengubah arah sejarah tinju dunia. Kala itu, para pejabat olahraga dari 11 negara berkumpul dengan satu tujuan besar: menciptakan badan internasional yang bisa menegakkan keadilan dan kesetaraan dalam olahraga tinju profesional. Dunia tinju pada era 1950-an sedang mengalami kekacauan. Ada banyak organisasi kecil yang saling bersaing menentukan siapa juara sejati, sementara petinju dari negara berkembang sering kali dianaktirikan oleh promotor besar Amerika dan Eropa.
Dari keresahan itulah lahir gagasan untuk membentuk lembaga baru yang benar-benar global. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Meksiko, Filipina, dan Brasil menyatukan visi: menegakkan standar yang sama bagi semua petinju, di mana pun mereka berasal. Pertemuan itu diprakarsai oleh Adolfo López Mateos, Presiden Meksiko saat itu, yang percaya bahwa tinju seharusnya tidak hanya tentang pertarungan fisik, tapi juga tentang martabat dan keadilan antar bangsa.
Dari konferensi tersebut lahirlah World Boxing Council (WBC), sebuah lembaga yang sejak awal didesain untuk menggantikan peran dominan National Boxing Association (NBA) yang berbasis di Amerika Serikat — lembaga yang kemudian berganti nama menjadi World Boxing Association (WBA). Kehadiran WBC menjadi simbol perlawanan terhadap sentralisasi kekuasaan tinju yang selama ini condong ke Amerika.
WBC menetapkan markas besarnya di Mexico City, sebuah keputusan yang sarat makna politik dan simbolik. Meksiko saat itu dikenal sebagai tanah para petinju pekerja keras, negara yang punya kedekatan emosional dengan rakyat kecil, dan representasi dari semangat perjuangan. Dari kota inilah WBC mulai menata langkahnya untuk membangun sistem peringkat dunia, mengatur pertandingan kejuaraan yang lebih adil, serta melindungi keselamatan petinju di dalam ring.
Dalam beberapa tahun pertama, lembaga ini masih harus berjuang keras untuk mendapatkan pengakuan. Banyak pihak yang meragukan legitimasi WBC karena dominasi promotor dan jaringan televisi Amerika masih sangat kuat. Namun lambat laun, organisasi ini mulai menunjukkan perbedaan nyata — terutama dalam hal perlindungan terhadap atlet. WBC menjadi yang pertama memperkenalkan berbagai aturan keamanan seperti pemeriksaan medis wajib, batasan jumlah ronde dari 15 menjadi 12, serta pengawasan berat badan yang lebih ketat demi keselamatan petinju.
Perubahan itu membuat banyak petinju mulai percaya bahwa WBC bukan sekadar organisasi tandingan, melainkan lembaga yang benar-benar peduli terhadap mereka. Dari situlah reputasi WBC mulai tumbuh. Perlahan tapi pasti, sabuk hijau dengan logo dunia dan bendera berbagai negara mulai menjadi simbol baru dari kebanggaan dan legitimasi sejati dalam olahraga tinju.
Baca juga: Sejarah dan asal usul WBA,sabuk tertua di dunia
2.Era Awal: Diplomasi dan Tantangan Legitimasi
Pada dekade 1960-an, dunia tinju ibarat panggung diplomasi yang diselimuti ego dan kekuasaan. Setelah WBC resmi berdiri di bawah dukungan Presiden Meksiko, langkah berikutnya bukan sekadar mengatur pertandingan, tetapi membangun kepercayaan global. Saat itu, WBC masih dianggap pemain baru yang mencoba menantang dominasi World Boxing Association (WBA). Banyak promotor besar di Amerika yang menganggap kehadiran WBC hanya sebagai “organisasi tandingan tanpa masa depan”.
Namun, para pendirinya tidak gentar. Mereka sadar, satu-satunya cara untuk diakui adalah dengan menunjukkan integritas. Seperti yang pernah dikatakan Adolfo López Mateos, Presiden Meksiko sekaligus tokoh yang memprakarsai lahirnya WBC:

“Tinju adalah olahraga rakyat. Ia harus mencerminkan nilai kemanusiaan, bukan sekadar pertarungan kekuasaan.”
Kalimat itu menjadi semacam kredo moral bagi WBC. Melalui diplomasi olahraga, mereka mulai menjalin komunikasi dengan federasi tinju di Amerika Latin, Eropa Timur, hingga Asia. Banyak negara yang selama ini hanya menjadi penonton di arena global, kini merasa memiliki rumah baru.
Langkah-langkah WBC juga menunjukkan arah berbeda dari organisasi lain. Mereka memperkenalkan sistem peringkat dunia yang lebih terbuka, tidak lagi ditentukan oleh jaringan promotor besar. Perubahan itu dianggap radikal, tapi justru di situlah letak kekuatan WBC. “Kami ingin setiap petinju tahu bahwa kerja keras mereka dihargai, bukan koneksi mereka,” ujar Rodolfo Sánchez Taboada, salah satu delegasi Meksiko yang ikut merancang struktur awal WBC.
Meski begitu, tantangan terbesar bukan datang dari luar, tapi dari dalam dunia tinju itu sendiri. Banyak petinju top masih memilih bertanding di bawah WBA karena iming-iming finansial dan kontrak televisi. Namun, gelombang mulai berubah ketika José Sulaimán, tokoh yang kelak menjadi presiden legendaris WBC, memperkenalkan gagasan perlindungan medis bagi para petinju.

“Kami tidak bisa membiarkan tinju menjadi arena kematian,” katanya dalam salah satu kongres WBC tahun 1975. “Petinju adalah manusia, dan mereka layak pulang dengan kepala tegak, bukan dengan nyawa yang melayang.”
Dari sinilah WBC mulai membangun reputasi sebagai organisasi yang berpihak pada keselamatan dan kemanusiaan. Mereka memperketat aturan medis, membatasi jumlah ronde menjadi 12, dan memperkenalkan sistem lisensi bagi dokter ring. Langkah-langkah ini semula dianggap aneh, tapi kemudian diikuti badan tinju lain di seluruh dunia.
Memasuki awal 1970-an, pengaruh WBC semakin terasa. Negara-negara baru mulai bergabung, dan sabuk hijau itu perlahan menjadi simbol prestise baru. WBC bukan lagi organisasi tandingan, melainkan otoritas moral dalam dunia tinju, tempat di mana suara petinju dan keselamatan manusia lebih diutamakan daripada uang dan kekuasaan.
3.Warna Hijau dan Filosofi di Balik Desain Sabuk
Di dunia tinju, setiap sabuk juara bukan sekadar benda penghias pinggang. Ia adalah simbol perjuangan, harga diri, dan warisan sejarah. Namun, hanya sedikit yang mampu meninggalkan kesan sekuat sabuk hijau WBC — warna yang kini identik dengan supremasi dan kebanggaan tertinggi bagi para petinju.
Menariknya, warna hijau itu bukan hasil kebetulan. Pada awal 1970-an, saat WBC mulai memantapkan identitas visualnya, muncul perdebatan panjang di antara para petinggi organisasi. Beberapa mengusulkan warna merah atau emas seperti kebanyakan federasi olahraga internasional. Namun José Sulaimán — yang waktu itu sudah menjadi figur sentral di balik kebijakan WBC — bersikeras memilih hijau.
“Hijau adalah warna kehidupan,” ujar Sulaimán dalam wawancaranya di Mexico City tahun 1983. “Setiap kali seorang petinju naik ring, ia mempertaruhkan hidupnya. Jadi sabuk ini harus melambangkan harapan dan kelangsungan hidup, bukan hanya kemenangan.”
Kata-kata itu kemudian menjadi dasar filosofi sabuk WBC. Warna hijau menggambarkan harapan, regenerasi, dan kelangsungan hidup manusia, nilai-nilai yang terus dipegang teguh oleh organisasi ini. Di sisi lain, bahan kulit yang digunakan melambangkan daya tahan dan semangat juang, sementara piringan emas di tengahnya merepresentasikan sinar kejayaan dan kehormatan petinju.
Desain sabuk WBC juga memiliki ciri khas lain: foto kecil para juara legendaris di sisi kanan dan kiri medali utama. Ide ini muncul pada akhir 1970-an sebagai bentuk penghargaan terhadap mereka yang telah mengukir sejarah. WBC ingin setiap juara baru sadar bahwa namanya tidak berdiri sendiri — ia adalah bagian dari rantai panjang sejarah yang dimulai dari generasi sebelumnya.
Sulaimán bahkan pernah berkata dalam salah satu kongres WBC di Seoul tahun 1992:
“Setiap sabuk hijau adalah kitab suci kecil. Di sana tertulis nama-nama orang yang bertarung dengan darah dan air mata. Menjadi bagian dari mereka berarti menjadi bagian dari sejarah manusia.”
Kalimat itu terasa puitis, tapi justru itulah yang membuat filosofi WBC berbeda. Sabuk mereka bukan hanya penghargaan material, tetapi simbol “humanisme dalam tinju.”
Bahkan beberapa juara dunia seperti Muhammad Ali, Marvin Hagler, hingga Mike Tyson, secara terbuka menyebut sabuk WBC sebagai yang paling berharga. Dalam sebuah wawancara klasik tahun 1987, Tyson pernah mengatakan:
“Ketika aku memegang sabuk hijau itu, rasanya seperti dunia tahu siapa yang sebenarnya raja. Tidak ada sabuk lain yang membuatku merasa seperti itu.”
Bagi banyak petinju, sabuk hijau bukan hanya trofi. Ia adalah mimpi masa kecil yang terwujud, simbol bahwa mereka berhasil melewati malam-malam kelam di gym, pukulan-pukulan keras, dan keraguan yang menghantui sebelum lonceng ronde pertama berbunyi.
Lebih dari sekadar benda, sabuk WBC adalah narasi hidup. Ia menyatukan cerita dari berbagai benua — dari ring kecil di Filipina hingga Madison Square Garden di New York. Warna hijau itu menjadi bahasa universal bagi para pejuang yang berani bermimpi.
simak pula: Jejak WBA di asia tenggara dan indonesia
4.Tokoh-Tokoh yang Membentuk WBC
Setelah fase pendirian yang penuh diplomasi dan kompromi, World Boxing Council (WBC) mulai menemukan arah dan identitasnya sendiri. Namun di balik segala aturan dan tradisi, ada sejumlah tokoh yang memainkan peran penting — bukan hanya karena jabatan, tapi karena visi dan kepribadian mereka yang membentuk jantung organisasi ini.
Adolfo López Mateos — Sang Pemicu Gerakan Dunia
Bagi rakyat Meksiko, nama Adolfo López Mateos lebih dikenal sebagai presiden yang memperjuangkan pendidikan dan nasionalisme. Namun bagi dunia tinju, ia adalah pemantik gerakan global.
Mateos percaya bahwa olahraga, khususnya tinju, bisa menjadi jembatan antarbangsa. Ia menyadari bahwa banyak petinju Amerika Latin berjuang di bawah sistem yang tidak adil, di mana promotor dan federasi besar kerap menguasai segalanya. Karena itu, ia menggagas forum internasional yang akhirnya melahirkan WBC pada tahun 1963.
“Tinju adalah bahasa universal,” ujar López Mateos dalam pidato peluncuran kongres pertama WBC. “Dan setiap bahasa perlu tata bahasa yang adil.”
Filosofi itu menjadi fondasi pertama WBC: membangun kesetaraan dan keselamatan bagi petinju di seluruh dunia.
✍️ Luis Spota — Otak Organisasi yang Terlupakan

Nama Luis Spota jarang disebut dalam sejarah populer tinju, padahal dialah arsitek administrasi dan moral dari WBC di masa awal.
Seorang jurnalis, novelis, sekaligus penulis pidato presiden, Spota dipercaya menjadi presiden pertama WBC karena kemampuannya menggabungkan idealisme dan sistem manajemen.
Spota bukan petarung, tapi ia memahami satu hal: tanpa sistem yang bersih, tinju akan tetap dikuasai oleh kekacauan. Di bawah arahannya, WBC mulai menyusun struktur federasi internasional yang rapi — lengkap dengan kode etik, sistem perwakilan, dan mekanisme penilaian yang konsisten.
“Petinju berjuang dengan tangan, tapi sejarah hanya bisa bertahan dengan aturan,” tulis Spota dalam salah satu kolomnya di surat kabar Excélsior tahun 1964.
Sayangnya, kontribusinya tenggelam seiring waktu. Namun, setiap lembar aturan yang berlaku di WBC hari ini masih menyimpan jejak tangannya.
🌍 José Sulaimán — Diplomat Tinju Dunia
Ketika José Sulaimán naik menjadi presiden pada 1975, WBC masih dianggap “organisasi muda” dibandingkan WBA. Tapi di tangan Sulaimán, WBC menjelma menjadi otoritas global yang menentukan arah tinju profesional modern.
Berbeda dengan pendahulunya, Sulaimán bukan sekadar administrator. Ia seorang diplomat sejati. Ia melobi berbagai negara untuk menyatukan standar keselamatan dan etika pertandingan. Ia juga berani melawan arus ketika memperjuangkan pengurangan durasi pertarungan dari 15 ronde menjadi 12 ronde — keputusan yang menyelamatkan banyak nyawa setelah tragedi tragis di atas ring.
“Petinju bukan mesin uang, mereka manusia dengan batas,” ucap Sulaimán dalam konferensi WBC 1982.
Di bawah kepemimpinannya, WBC memperkenalkan sabuk hijau legendaris, meningkatkan perlindungan medis, dan mendirikan dana bantuan bagi mantan juara yang jatuh miskin. Tak heran jika banyak yang menyebutnya sebagai “Bapak Reformasi Tinju Dunia.”
🖥️ Mauricio Sulaimán — Pewaris Era Digital

Setelah wafatnya José Sulaimán pada tahun 2014, tongkat estafet beralih kepada putranya, Mauricio Sulaimán, yang membawa WBC menembus era digital.
Mauricio mewarisi semangat ayahnya, namun ia paham bahwa dunia tinju kini tidak hanya hidup di ring, tapi juga di layar ponsel dan platform streaming.
Ia memperkenalkan sistem digital scorecard, memperluas akses siaran WBC ke media sosial, dan menginisiasi program WBC Cares, yang fokus membantu anak-anak, petinju veteran, serta komunitas yang terdampak perang dan kemiskinan.
“Sabuk hijau bukan hanya simbol kemenangan, tapi komitmen sosial,” kata Mauricio dalam wawancara bersama Forbes Mexico tahun 2020.
Dengan pendekatannya yang modern dan empati yang kuat, Mauricio berhasil menjaga WBC tetap relevan di tengah kompetisi global yang makin ketat. Ia menghubungkan masa lalu dan masa depan tanpa memutus akar sejarah yang dibangun oleh generasi sebelumnya.
Kini, ketika seorang juara dunia mengangkat sabuk hijau di atas kepalanya, ia tak hanya merayakan kemenangan. Ia juga sedang meneruskan jejak empat tokoh besar yang menyalakan semangat kemanusiaan di balik tinju:
Mateos yang menanam ide, Spota yang memberi sistem, José yang menegakkan martabat, dan Mauricio yang membawa warisan itu ke masa depan.
5.WBC di Era Modern
Seiring waktu, tinju dunia mengalami perubahan besar. Dari pertarungan klasik di televisi analog, hingga siaran langsung di ponsel, dunia olahraga ini telah berpindah lintasan. Namun di tengah transformasi global itu, World Boxing Council (WBC) tetap bertahan sebagai simbol stabilitas dan prestise — sesuatu yang tak semua organisasi mampu jaga selama enam dekade.
📺 Dari Siaran TV ke Streaming Global
Pada 1980–1990-an, sabuk hijau WBC sudah menjadi ikon di setiap tayangan tinju dunia. Nama-nama besar seperti Mike Tyson, Julio César Chávez, Lennox Lewis, hingga Oscar De La Hoya memperkuat citra bahwa menjadi juara WBC berarti berada di puncak piramida.
Namun ketika milenium baru datang, WBC dihadapkan pada tantangan baru: digitalisasi dan globalisasi olahraga. Siaran televisi tak lagi mendominasi, media sosial mulai mengubah cara penggemar menikmati tinju.
Mauricio Sulaimán, yang menggantikan ayahnya pada 2014, menyadari hal ini lebih cepat dari banyak federasi lain. Ia mulai membangun kemitraan dengan DAZN, ESPN+, dan berbagai platform streaming, sekaligus memperkenalkan digital weigh-in system dan penilaian elektronik agar hasil pertandingan lebih transparan.
“Tinju harus tumbuh bersama teknologi, bukan tertinggal karenanya,” ujar Mauricio dalam konferensi WBC di Tokyo tahun 2019.
Langkah ini bukan hanya menjaga eksistensi WBC, tapi juga membuka pintu bagi jutaan penonton muda di seluruh dunia yang baru mengenal tinju lewat layar ponsel.
🧠 Reformasi Mentalitas dan Kesejahteraan Petinju
Jika dulu fokus WBC hanya pada keselamatan fisik di atas ring, kini mereka memperluas maknanya. Dalam era modern, WBC melihat kesehatan mental dan sosial petinju sebagai bagian dari tanggung jawab organisasi.
Melalui program “WBC Cares” dan “Mental Health Awareness for Fighters”, WBC membantu banyak mantan petinju yang menghadapi trauma, kesepian, atau kesulitan ekonomi setelah pensiun.
Organisasi ini juga aktif mendukung kampanye anti-bullying dan pendidikan anak-anak di komunitas miskin di Meksiko, Filipina, dan Afrika Selatan.
“Kemenangan sejati bukan saat kita mengangkat sabuk, tapi ketika kita mampu mengangkat orang lain,” kata Mauricio Sulaimán dalam pidato tahunan WBC tahun 2022.
Pendekatan ini membuat WBC tidak lagi sekadar regulator, tetapi gerakan sosial yang menempatkan nilai kemanusiaan di jantung olahraga keras ini.
🌏 Ekspansi ke Asia dan Dunia Digital
Era 2020-an juga menandai ekspansi besar WBC di kawasan Asia. Melalui program WBC Asia dan WBC Muay Thai, organisasi ini memperluas pengaruhnya ke negara-negara seperti Jepang, Thailand, Filipina, hingga Indonesia.
Kejuaraan regional kini menjadi batu loncatan resmi menuju sabuk dunia. Petinju seperti Nonito Donaire, Kosei Tanaka, dan Panya Pradabsri menjadi bukti bahwa Asia bukan lagi pelengkap, tapi poros baru tinju global.
Tak hanya itu, WBC juga membangun platform data digital yang memuat arsip seluruh juara sejak 1963, lengkap dengan statistik dan video pertarungan. Hal ini menegaskan bahwa WBC kini bukan hanya badan pengatur, tapi juga penjaga sejarah olahraga tinju dunia.
🥇 Identitas yang Tetap Abadi
Meski dunia berubah cepat, satu hal tidak pernah berubah: sabuk hijau WBC tetap menjadi simbol tertinggi kehormatan.
Bahkan di era yang penuh hiburan instan dan sensasi media sosial, sabuk itu masih punya aura yang sulit dijelaskan.
“Ketika seorang petinju mengangkat sabuk hijau, itu bukan tentang uang. Itu tentang pengakuan dari sejarah,” kata juara dunia Tyson Fury setelah memenangkan sabuk WBC pada 2020.
WBC berhasil membuktikan bahwa adaptasi tidak harus berarti kehilangan jati diri. Ia tumbuh mengikuti zaman, tapi tetap berpijak pada filosofi yang diwariskan oleh generasi pendirinya:
keadilan, keselamatan, dan kemanusiaan di atas segalanya.
6.Kontroversi dan Kritik terhadap WBC
Sebagai organisasi tinju paling berpengaruh di dunia,WBC tidak pernah lepas dari sorotan. Dari era klasik hingga modern,nama besar dewan ini kerap diiringi oleh berbagai polemik yang menimbulkan perdebatan di kalangan petinju,promotor,dan penggemar.
Salah satu kritik paling tajam datang dari kebijakan peringkat dan keputusan promosi juara. Banyak pihak menilai WBC sering kali lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang prestasi murni di atas ring. Beberapa petinju bahkan pernah secara terbuka menolak sabuk hijau itu karena dianggap tidak adil.
“WBC kadang seperti memilih siapa yang layak jadi bintang, bukan siapa yang benar-benar berjuang di ring,” ujar mantan juara dunia Tim Witherspoon dalam wawancara tahun 2005.
Kritik lain datang dari kebijakan “franchise champion”, gelar yang diperkenalkan era Mauricio Sulaiman. Secara konsep,gelar ini memberi fleksibilitas bagi juara untuk bertarung di kelas berbeda tanpa kehilangan statusnya. Namun dalam praktiknya,gelar ini justru menimbulkan kebingungan karena ada dua juara dalam satu divisi—franchise dan regular.
Petinju seperti Teofimo Lopez dan Devin Haney sempat menjadi pusat perdebatan karena status gelar yang tumpang tindih. Para penggemar menyebutnya sebagai “sabuk diplomasi”,bukan sabuk kompetisi.
Selain itu,keputusan-keputusan kontroversial dalam beberapa pertandingan juga menambah daftar panjang kritik terhadap organisasi ini. Kasus paling sering disorot adalah putusan skor juri yang dianggap menguntungkan petinju tertentu yang dekat dengan jaringan promotor besar. Dalam konteks ini,WBC sering berada di tengah badai,meski tidak selalu menjadi penyebab langsung.
Namun di balik semua kritik,WBC tetap bertahan dan terus beradaptasi. Sulaiman kerap menegaskan bahwa setiap kebijakan selalu lahir dari niat memperbaiki olahraga tinju agar lebih aman dan lebih global. Ia pernah berkata,“Kami mungkin tidak sempurna,tapi kami selalu belajar dari setiap kesalahan.”
7.Jejak WBC di Asia Tenggara
Bagi sebagian besar pecinta tinju dunia, nama-nama seperti Meksiko atau Amerika Serikat mungkin langsung melekat pada citra WBC. Namun,di balik itu semua,Asia Tenggara menyimpan kisah panjang tentang bagaimana sabuk hijau legendaris itu menancapkan pengaruhnya secara perlahan tapi pasti.
Perjalanan WBC di kawasan ini dimulai pada akhir 1970-an,saat olahraga tinju mulai berkembang di Filipina dan Thailand. Dua negara itu menjadi jembatan utama yang memperkenalkan struktur organisasi WBC ke Asia. Dari sana,gelombang besar mulai terbentuk: promotor lokal mendirikan federasi yang diakui secara resmi,wasit dilatih dengan standar internasional,dan petinju-petinju Asia mulai berani menantang sabuk hijau yang dulu terasa mustahil dijangkau.
sang juara WBC dari thailand yang paling terkenal adalah chartchai chionoi[siritwitoon] dia mengangkat sabuk hijau ini pada 10 november 1968 bernabe villacampo mengalahkan lewat UD di bangkok.

ada juga sang penerus bernama Saensak muangsrin dari Thailand menjadi salah satu pionir yang membuka mata dunia. Ia merebut gelar WBC Super Lightweight hanya dalam tiga pertarungan profesional—rekor tercepat dalam sejarah saat itu. Keberhasilannya membuat Bangkok mendadak jadi pusat perhatian WBC. Dari sinilah gelombang Asia Tenggara mulai menanjak.
Tak lama kemudian,Gabriel “Flash” Elorde dari Filipina ikut memperkuat eksistensi WBC lewat penampilan heroiknya di dekade 1960-an. Walau sempat berkarier sebelum WBC resmi terbentuk,namanya menjadi simbol kebangkitan Asia dan inspirasi bagi generasi petinju selanjutnya. Setelah itu Manny Pacquiao makin menegaskan posisi kawasan ini dalam peta besar WBC.
Pacquiao khususnya memiliki hubungan emosional dengan WBC. Ia meraih beberapa sabuk hijau di berbagai kelas,dan bahkan dianugerahi “Diamond Belt” atas kontribusinya bagi olahraga tinju dunia. Melalui karier Pacquiao,WBC seolah menemukan duta global dari Asia Tenggara yang sejajar dengan legenda Amerika Latin.

Selain di atas ring,kehadiran WBC di Asia Tenggara juga tercermin lewat kegiatan sosial dan diplomasi olahraga. WBC Asia—cabang regional resmi—aktif menggelar seminar,turnamen,dan program keselamatan petinju di Thailand,Filipina,Malaysia,hingga Indonesia.
Mauricio Sulaiman pernah berkata,“Kami ingin Asia bukan hanya panggung pertarungan,tapi juga rumah bagi masa depan tinju dunia.”
Kini,WBC Asia menjadi salah satu zona paling aktif di luar Amerika dan Eropa. Banyak juara regional dari Indonesia,Vietnam,dan Singapura yang menggunakan sabuk WBC Asia sebagai batu loncatan menuju gelar dunia.
Sabuk hijau itu bukan sekadar simbol prestise,tapi juga lambang kesempatan—bahwa dari sudut manapun dunia,asal ada tekad dan latihan,tak ada yang mustahil untuk digapai.
Sejarah panjang WBC bukan cuma tentang siapa yang menang atau siapa yang kalah. Di balik setiap sabuk hijau yang terangkat tinggi,ada cerita tentang mimpi,politik,dan diplomasi olahraga. Dari ruang rapat di Meksiko pada tahun 1963 hingga panggung megah Las Vegas dan Tokyo,WBC telah menjelma menjadi simbol global—yang menghubungkan petinju dari berbagai budaya dengan satu cita-cita: menjadi juara dunia.
Warisan WBC tak lepas dari sosok-sosok seperti José Sulaimán dan Mauricio Sulaimán,dua generasi yang menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi. Di tangan mereka,organisasi ini tumbuh bukan hanya lewat promosi besar,tapi juga lewat kepedulian sosial. Program keselamatan petinju,peningkatan standar medis,dan kampanye anti-doping menjadi bukti bahwa WBC berusaha memanusiakan olahraga yang keras ini.
Meski tak luput dari kritik dan kontroversi,WBC tetap menjadi barometer prestise tertinggi di dunia tinju. Bahkan dalam era modern yang dipenuhi sabuk dari berbagai badan lain,WBC masih memegang nilai simbolis yang sulit tergantikan. Ketika sabuk hijau itu melingkar di pinggang seorang juara,dunia tahu: inilah pencapaian yang melampaui sekadar kemenangan di ring.
Di Asia Tenggara,semangat itu kini terus menyala. Dari gym sempit di Manila hingga sasana kecil di Jakarta,petinju muda bermimpi mengangkat sabuk yang sama. Mimpi yang dulu lahir dari Meksiko,tapi kini sudah menjadi mimpi milik dunia.
Sejarah WBC bukan hanya milik mereka yang telah juara,tapi juga milik setiap orang yang percaya bahwa tinju adalah perjalanan menuju kemuliaan—bukan cuma soal pukulan,tapi tentang keberanian untuk berdiri lagi setiap kali jatuh.
#WBC #SejarahTinju #SabukHijauWBC #TinjuDunia #WBCAsia #SejarahOlahraga #BoxingHistory










Pingback: Sejarah Sabuk IBF: Perjalanan Menuju Pengakuan Dunia