Kadang, perjalanan seorang petinju tidak cuma soal menang atau kalah di atas ring. Ada juga soal harga diri, kekecewaan, dan cara seseorang bangkit setelah merasa dicurangi.
Buat saya, kisah Michael “Mick” Conlan adalah salah satu cerita paling manusiawi di dunia tinju modern. tentang bakat besar, perjuangan panjang, dan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Dari kecil, dia udah akrab dengan sarung tinju. Ayahnya, John Conlan, juga seorang pelatih tinju, dan dari situ lah awal kisahnya dimulai.
Konon, di usia delapan tahun. Michael udah sering ikut latihan bareng kakaknya, Jamie. yang juga petinju profesional. Kalau lihat dari luar, mungkin nggak banyak yang nyangka dua anak kecil dari Belfast ini bakal beneran hidup dari tinju. Tapi semangat mereka keras banget.
Seiring waktu, nama Conlan mulai terdengar di kejuaraan lokal, lalu nasional, dan akhirnya masuk tim amatir Irlandia.
Dari situ, kariernya melesat. diaa meraih medali perunggu di Olimpiade London 2012. lalu jadi juara Eropa dua kali, dan akhirnya meraih medali emas di Kejuaraan Dunia 2015.
Waktu itu, Conlan dianggap bintang masa depan — elegan, teknikal, tapi juga punya jiwa petarung sejati.
Bagi saya pribadi, Conlan ini contoh petinju yang lahir bukan cuma karena bakat, tapi karena niat. Setiap kali dia naik ring. ada semangat yang terasa tulus.
Tapi siapa sangka, karier cemerlang itu justru berubah arah total gara-gara satu pertandingan di Rio de Janeiro.
Banyak orang masih ingat Olimpiade Rio 2016. Bukan karena medali emasnya, tapi karena satu momen ketika Michael Conlan berdiri di tengah ring, mengacungkan jari tengah ke arah juri. Sebuah ekspresi frustrasi paling jujur yang pernah terjadi di panggung olahraga dunia.
Conlan datang ke Rio sebagai favorit di kelas bantam 56 kg. Modalnya lengkap juara dunia. juara Eropa. medali perunggu Olimpiade sebelumnya.
Semua prediksi menempatkan dia sebagai calon kuat peraih emas…
Tapi pada 16 Agustus 2016, semuanya berubah waktu dia berhadapan dengan petinju Rusia, Vladimir Nikitin.
Pertarungannya sebenarnya jelas banget. Conlan main dominan dari awal. Gerakannya ringan, jab-nya bersih, dan kombinasi ke tubuh lawan masuk terus. Nikitin memang petarung keras, tapi di malam itu. dia lebih banyak kena pukul daripada memberi serangan berarti.
Saya nonton ulang pertarungan itu beberapa kali. dan sampai sekarang pun saya masih yakin Conlan menang mutlak.
Tapi begitu hasil diumumkan, semua terdiam. Juri memberikan kemenangan angka untuk Nikitin. Penonton bersorak bingung, komentator kehilangan kata-kata. dan wajah Conlan langsung berubah.
Dari kecewa, marah, sampai akhirnya dia meluapkan semuanya dengan gestur perlawanan.
Waktu diwawancara, Conlan bilang dengan nada getir,,,
AIBA itu korup dari atas sampai bawah. Mereka mencuri mimpi saya.” Kalimat itu kemudian jadi berita utama di seluruh dunia. BBC, ESPN, The Guardian.
semuanya menulis hal yang sama: Conlan punya nyali untuk mengatakan sesuatu yang selama ini ditahan banyak orang.
Yang menarik, publik tidak marah padanya. Justru sebaliknya, dukungan datang dari mana-mana. Carl Frampton, legenda tinju Irlandia, langsung memujinya. Manny Pacquiao pun ikut menyoroti anehnya hasil laga itu.
Sementara AIBA, yang merasa terpojok, mulai menyelidiki ulang kasus-kasus kontroversial di Rio. Beberapa juri akhirnya diskors.
Tapi buat Conlan, itu semua udah terlambat. Mimpinya di Olimpiade sudah hilang, dan sejak hari itu, ia janji akan tinggalkan tinju amatir untuk selamanya.
Buat saya, di situlah Michael Conlan “lahir kembali”. Dari seorang juara dunia amatir yang kecewa, jadi sosok pemberontak yang berani melawan sistem.
Setelah drama Rio, Conlan tak butuh waktu lama buat melangkah ke dunia profesional.
Tahun 2017, dia resmi menandatangani kontrak dengan Top Rank Promotions. promotor besar asal Amerika. Dan menariknya, debutnya nggak main-main: Madison Square Garden, New York.
Tanggal 17 Maret 2017, tepat di Hari St. Patrick, Conlan naik ring melawan Tim Ibarra. Suasana malam itu luar biasa. Ribuan penonton asal Irlandia memenuhi arena, membawa bendera hijau-putih-oranye dan bernyanyi tanpa henti.
Begitu Conlan masuk ke ring, seluruh arena berdiri. Seakan itu bukan debut, tapi pesta nasional.
Dan hasilnya? Sempurna. Conlan menang TKO di ronde ketiga. Bukan cuma soal kemenangan, tapi cara dia tampil. tenang dan punya gaya khas yang bikin publik langsung jatuh cinta.
Saya masih ingat Bob Arum, bos Top Rank, bilang, “Anak ini bakal jadi bintang besar.” Dan banyak yang sepakat.
Setelah debut itu, Conlan nggak langsung loncat ke laga besar. dia memilih naik perlahan, melawan lawan-lawan dengan tingkat kesulitan bertahap.
Dari situ, kita bisa lihat kedewasaannya sebagai petinju.
Tahun 2018, dia merebut gelar WBO Inter-Continental Featherweight setelah mengalahkan Jason Cunningham. Bukan laga yang glamor, tapi penting buat membangun kredibilitas.
Lalu April 2021. dia naik ke kelas super bantam dan menumbangkan Ionut Baluta untuk merebut gelar WBO Intercontinental yang kosong.
Empat bulan kemudian, dia pulang ke Belfast untuk menghadapi TJ Doheny. mantan juara dunia IBF yang dikenal tangguh. Laga ini jadi semacam ujian besar.
Saya suka gaya Conlan di pertandingan itu. Dia tidak terburu-buru, tapi tetap agresif. Serangannya ke tubuh Doheny bikin lawan kehilangan nafas, dan sejak ronde keempat, Conlan benar-benar mendominasi.
Ada satu momen menarik waktu hook kirinya membuat Doheny sempat terjatuh. itu seolah jadi pernyataan bahwa Conlan bukan cuma teknikal, tapi juga punya power yang selama ini diremehkan.
Setelah 12 ronde, Conlan menang angka mutlak. Dan dari situ, dia resmi menyandang gelar juara interim WBA Super Bantamweight.
Malam itu, di depan ribuan pendukung di Falls Park, Belfast, rasanya seperti dunia kembali berpihak padanya.
Kalau ada satu laga yang masih bikin saya merinding setiap kali diingat, itu adalah pertarungan Michael Conlan melawan Leigh Wood pada 12 Maret 2022 di Nottingham.
Duel dua petinju dengan gaya berbeda — satu elegan dan teknikal, satu keras dan penuh daya tahan.
Sejak bel pertama, Conlan kelihatan superior. Di ronde pertama saja, dia sudah membuat Wood terjatuh lewat pukulan overhand kiri yang bersih banget.
Itu salah satu ronde pembuka terbaik sepanjang kariernya. Di ronde-ronde berikutnya, Conlan terus menekan, main dengan ritme yang dia kuasai sepenuhnya.
Saya ingat komentator DAZN bilang, “Wood tidak bisa baca timing Conlan.”
Tapi seiring berjalannya laga, sesuatu mulai berubah. Mulai ronde keenam, Wood pelan-pelan menemukan celah.
Dia mulai nyerang lebih dalam, sementara Conlan terlihat sedikit menurun ritmenya. Tekanan mental dan fisik mulai terasa.
Di ronde ke-11, Wood berhasil mendaratkan pukulan keras yang menjatuhkan Conlan untuk pertama kalinya. Arena langsung bergemuruh.
Saya yang nonton lewat streaming pun sempat bengong. seolah tak percaya. Dan ternyata drama belum selesai.
Ronde ke-12 jadi salah satu ronde paling gila dalam sejarah tinju Inggris. Conlan, yang kelihatan kelelahan, mencoba bertahan.
Tapi Wood keluar habis-habisan. Sebuah kombinasi kanan–kiri masuk bersih dan membuat Conlan terlempar keluar ring. Wasit langsung menghentikan laga. KO brutal.
Kekalahan itu pahit banget. Bukan cuma karena sabuknya hilang, tapi karena Conlan sudah unggul jauh di kartu juri. Tapi buat saya pribadi, momen itu menunjukkan satu hal:
betapa kejamnya tinju. Sekejap saja, kemenangan bisa berubah jadi tragedi.
Baca juga: Sang juara IBO, harapan emas dari kuba
Setelah Wood, Conlan sempat istirahat sebentar sebelum bangkit lagi. Mei 2023, dia mendapat kesempatan baru melawan juara IBF asal Meksiko.
Luis Alberto Lopez. Pertarungan digelar di kampung halamannya, SSE Arena, Belfast. Suasananya luar biasa, tapi juga penuh tekanan.
Lopez datang dengan reputasi petinju jalanan. gaya ortodoks dan berbahaya.
Dan benar saja, sejak awal, Lopez tampil lepas. Sementara Conlan kelihatan agak hati-hati, mungkin masih trauma dari laga Wood.
Di ronde kelima, Lopez memanfaatkan celah kecil. Conlan mundur terlalu tegak dan langsung menghantam dengan uppercut kanan telak. Conlan roboh keras, dan wasit tanpa ragu menghentikan pertarungan. KO ronde lima.
Bagi Conlan, ini seperti luka lama yang terbuka lagi. Kekalahan di kandang sendiri, di depan keluarga dan ribuan fans.
Saya ingat wajahnya seperti menyimpan kesedihan yang amat dalam. Bukan karena kalah, tapi karena rasa kecewa yang tidak bisa dijelaskan.
Seolah dia bertanya ke dirinya sendiri, “Apakah saya ditakdirkan untuk hampir sampai, tapi tidak pernah benar-benar tiba???
Setelah kekalahan itu, Conlan sempat absen beberapa bulan.Dari wawancara terakhirnya, saya bisa lihat semangat itu belum padam. Dia masih punya ambisi untuk merebut sabuk dunia — entah di kelas featherweight atau super bantam.
Buat saya, Michael Conlan bukan hanya petinju. Dia adalah semangat yang tidak mau tunduk. Pernah dicurangi, pernah jatuh, tapi tetap berusaha bangkit.
Dia bukan petarung yang hanya diingat karena sabuknya, tapi karena caranya melawan ketidakadilan.
Kalau nanti dia berhasil merebut gelar dunia, rasanya itu bukan cuma kemenangan pribadi. tapi pembuktian bahwa kejujuran dan kerja keras masih punya tempat di dunia tinju. yang kadang keras dan kotor ini.
Dan kalaupun tidak, namanya tetap akan dikenang. bukan sebagai juara dunia di atas kertas, tapi juara moral di hati para penggemar.
Kalau boleh jujur, setiap kali saya nonton ulang pertarungan-pertarungan Conlan. terutama yang di Rio atau melawan Wood, ada rasa simpati yang sulit dijelaskan.
Mungkin karena dia petinju yang sangat manusiawi. bukan robot pencari KO, tapi sosok yang berjuang, jatuh, lalu berusaha bangkit lagi meski tahu dunia nggak selalu adil.
Michael Conlan mungkin belum mencapai puncak yang dia impikan, tapi semangatnya udah cukup untuk menginspirasi siapa pun yang pernah merasa dirampas mimpinya.
Dan kadang, itu jauh lebih besar daripada sekadar sabuk juara.









