Di sebuah pulau kecil bernama Saparua, Maluku, lahirlah seorang anak yang tak pernah menyangka dirinya kelak akan mengharumkan nama Indonesia di panggung tinju dunia. Anak itu bernama Ellyas Pical, seorang bocah sederhana yang tumbuh di lingkungan nelayan, jauh dari gemerlap arena olahraga internasional.

Sejak kecil, Ellyas sudah terbiasa dengan kerasnya hidup. Laut dan gelombang menjadi saksi bagaimana ia belajar disiplin, kerja keras, dan keteguhan hati. Namun, siapa sangka, takdir membawanya pada jalur berbeda — bukan sekadar menjadi seorang anak pulau biasa, melainkan menjelma menjadi legenda yang membuka mata dunia bahwa Indonesia bisa melahirkan juara sejati.
Perjalanan Ellyas Pical menuju tahta dunia tidaklah mudah. Dari latihan sederhana di tanah kelahiran, hingga akhirnya menembus panggung internasional, semua ia jalani dengan mental baja. Pada tahun 1985, dunia tinju dikejutkan ketika seorang petinju asal Indonesia berhasil merebut sabuk juara dunia versi IBF di kelas junior bantam. Sejak saat itu, nama Ellyas Pical terukir dalam sejarah sebagai juara dunia tinju pertama dari Indonesia.
Kisahnya adalah inspirasi, bukan hanya bagi dunia olahraga, tapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia: bahwa mimpi besar bisa lahir dari tempat yang kecil, dan kerja keras mampu membawa seseorang mencapai puncak dunia.
Awal Karier Profesional Ellyas Pical

Perjalanan Ellyas Pical di dunia tinju profesional dimulai pada 10 Desember 1982 di Jakarta. Pada kesempatan itu, ia menghadapi Eddy Rafael, yang juga sedang menjalani debut profesional. Pertarungan berlangsung sengit, tetapi Pical menunjukkan bakat alami serta kekuatan pukulannya yang khas. Di ronde keempat, sebuah kombinasi telak membuat lawannya roboh dan tidak mampu melanjutkan pertandingan. Ellyas Pical pun mencatat kemenangan KO di laga perdananya — sebuah awal yang gemilang untuk petinju asal Maluku itu.
Namun, jalan menuju puncak tidak selalu mulus. Setelah menorehkan beberapa kemenangan beruntun, Pical harus menelan kenyataan pahit di pertarungan profesionalnya yang kelima. Pada 24 Juli 1983, bertempat di GOR Pulosari, Malang, ia berhadapan dengan Edward Apay, petinju yang saat itu baru menjalani debut.
Pertarungan berlangsung ketat dan penuh jual beli pukulan. Meski Pical berusaha menekan dengan gaya agresifnya, Apay mampu bertahan sekaligus mencuri poin melalui strategi efektif. Setelah menyelesaikan ronde-ronde yang ditentukan, para juri akhirnya memutuskan kemenangan untuk Edward Apay melalui keputusan angka (PTS).
Kekalahan ini menjadi pelajaran berharga bagi Ellyas Pical. Bagi banyak petinju, tumbang di awal karier bisa jadi pukulan mental yang berat. Namun bagi Pical, justru dari sini ia belajar memperbaiki teknik, meningkatkan stamina, dan menempa mental juara yang kelak membawanya menuju panggung dunia.
BACA JUGA: Sejarah juara dunia di 18 kelas berbeda
Momen Bersejarah: Juara Dunia Pertama dari Indonesia.
Setelah melewati 11 pertarungan awal dengan jatuh bangun, Ellyas Pical akhirnya mendapat kesempatan emas pada duel profesionalnya yang ke-12. Pada 3 Mei 1985, ia dipertemukan dengan Ju Do Chun, petinju tangguh asal Korea Selatan yang saat itu memegang sabuk IBF Junior Bantamweight sejak Desember 1983. Duel bersejarah ini digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, dan disaksikan langsung oleh ribuan penonton yang memenuhi arena.
Ju Do Chun datang dengan reputasi mentereng. Ia dikenal sebagai juara dunia yang tangguh, agresif, dan berpengalaman mempertahankan gelar. Namun, Ellyas Pical tampil penuh percaya diri, memanfaatkan dukungan luar biasa dari publik tanah air.
Sejak ronde-ronde awal, Pical mulai menunjukkan senjata andalannya: hook kiri mematikan yang kelak membuatnya dijuluki The Exocet. Pukulan itu berkali-kali berhasil menembus pertahanan sang juara.
Puncaknya terjadi di ronde ke-8. Sebuah hook kiri keras mendarat telak di wajah Ju Do Chun, membuatnya terkapar tak berdaya. Sang juara dunia pingsan di atas kanvas, dan wasit langsung menghentikan pertarungan.

Ellyas Pical pun resmi menjadi juara dunia IBF Junior Bantamweight, sekaligus mencatatkan sejarah sebagai petinju Indonesia pertama yang meraih gelar juara dunia tinju profesional. Stadion GBK bergemuruh, dan seluruh rakyat Indonesia bersatu dalam kebanggaan yang luar biasa.
Kemenangan ini bukan hanya milik Ellyas Pical, melainkan juga simbol bahwa anak bangsa dari sebuah pulau kecil bisa berdiri sejajar dengan petinju dunia. Sejak malam itu, nama Pical resmi masuk ke dalam daftar legenda tinju internasional.
Kekalahan pahit dari polanco.
Setelah mencetak sejarah besar dengan merebut sabuk IBF Junior Bantamweight dari Ju Do Chun, Ellyas Pical menjadi idola nasional sekaligus simbol kebanggaan Indonesia. Gelarnya pun dipertahankan dengan penuh semangat.
Namun, perjalanan seorang juara dunia tidak selalu mulus. Pada 15 Februari 1986, Pical menjalani pertahanan gelarnya yang kedua melawan petinju asal Republik Dominika, Cesar Polanco. Duel ini digelar di P.I. Arena Coliseum, Jakarta, dengan antusiasme besar dari publik tanah air.
Pertarungan berlangsung sengit selama 15 ronde penuh. Polanco, yang datang sebagai penantang, tampil berani dan mampu mengimbangi agresivitas Pical. Sang juara berusaha mengandalkan hook kiri mautnya, tetapi Polanco punya strategi yang efektif: menjaga jarak, banyak bergerak, dan mencuri angka melalui kombinasi cepat.
Hingga ronde terakhir, kedua petinju sama-sama masih berdiri tegak. Ketika hasil diumumkan, publik terdiam: Cesar Polanco dinyatakan menang melalui split decision (SD). Kekalahan ini menjadi yang pertama bagi Pical di level kejuaraan dunia, sekaligus membuat sabuk IBF harus lepas dari genggamannya.

Meski kalah, Pical tetap mendapat sambutan hangat dari para penggemar. Banyak yang menilai laga ini sangat ketat dan bisa saja dimenangkan oleh sang juara jika penilaian berbeda. Kekalahan pahit ini menjadi pelajaran berharga bagi Pical untuk kembali bangkit dan membuktikan dirinya sebagai juara sejati.
Rematch vs Cesar Polanco:
Kekalahan dari Cesar Polanco pada Februari 1986 menjadi pukulan berat bagi Ellyas Pical dan publik Indonesia. Namun, sang “Exocet” tidak butuh waktu lama untuk menuntut balas. Promotor segera mengatur pertarungan ulang (rematch) agar Pical mendapat kesempatan merebut kembali sabuk dunianya.
Rematch digelar pada 5 Juli 1986 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Puluhan ribu penonton hadir untuk mendukung putra Maluku itu, menciptakan atmosfer luar biasa yang membakar semangat Pical.
Berbeda dengan pertemuan pertama, kali ini Pical tampil lebih agresif dan penuh percaya diri. Sejak awal ronde, ia langsung menekan Polanco dengan kombinasi jab dan hook kiri keras yang menjadi ciri khasnya. Polanco tampak kewalahan menghadapi gempuran sang juara lama.
Puncaknya datang di ronde ke-3. Saat menemukan celah, Pical melepaskan body shot kiri telak ke arah ulu hati Polanco. Hantaman keras itu membuat Polanco langsung tertunduk kesakitan dan jatuh ke kanvas. Meski wasit mulai menghitung, Polanco tidak mampu bangkit hingga hitungan selesai.
Ellyas Pical resmi menang KO ronde ke-3 dan merebut kembali sabuk IBF Junior Bantamweight.
Sorak sorai publik GBK pecah menyambut kemenangan spektakuler ini. Indonesia kembali memiliki juara dunia, dan Pical membuktikan bahwa dirinya bukan hanya sekadar juara sesaat, melainkan seorang petarung sejati yang mampu bangkit dari kekalahan.
Duel Besar: Ellyas Pical vs Khaosai Galaxy.

Setelah kembali merebut sabuk IBF Junior Bantamweight lewat kemenangan KO atas Cesar Polanco, nama Ellyas Pical makin harum di dunia tinju internasional. Popularitasnya pun membuat promotor berani mengatur pertarungan besar yang mempertemukannya dengan salah satu petinju paling ditakuti di divisi super fly saat itu, Khaosai Galaxy dari Thailand.
Pertarungan ini digelar pada 28 Februari 1987 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, dan langsung menyedot perhatian publik Asia. Galaxy datang dengan reputasi mentereng sebagai juara bertahan WBA Junior Bantamweight, yang dikenal memiliki pukulan kiri mematikan sama seperti Pical.
Namun, ada catatan penting: sabuk IBF milik Pical tidak dipertaruhkan dalam duel ini. Hanya sabuk WBA milik Galaxy yang diperebutkan.
Sejak ronde pertama, pertarungan berlangsung ketat. Kedua petinju saling adu pukulan dengan gaya agresif yang jadi ciri khas masing-masing. Pical tampil berani, beberapa kali mendaratkan hook kirinya yang keras, sementara Galaxy mengandalkan kombinasi serta daya tahan fisiknya yang luar biasa.
Sayangnya, laga ini memperlihatkan perbedaan kondisi fisik. Galaxy tampak lebih siap menjalani pertarungan panjang, sementara Pical perlahan menunjukkan tanda-tanda kelelahan setelah ronde-ronde pertengahan.
Puncaknya terjadi pada ronde ke-14, ketika Pical sudah hampir habis tenaga. Galaxy memanfaatkan momentum, terus menekan hingga wasit menghentikan pertarungan. Khaosai Galaxy menang TKO atas Ellyas Pical.
Kekalahan ini sangat menyakitkan, bukan hanya karena Pical gagal merebut sabuk WBA, tapi juga karena usai pertarungan, IBF mencabut gelar juara dunia milik Pical. Alasan pencabutan ini terkait keputusan organisasi yang tidak mengizinkan seorang juara mempertaruhkan dirinya di luar aturan yang mereka tetapkan.
Meski begitu, duel melawan Galaxy tetap dikenang sebagai salah satu laga paling penting dalam karier Ellyas Pical. Ia berani menghadapi salah satu monster terkuat di kelasnya, bahkan bertahan hingga ronde-ronde akhir sebelum akhirnya tumbang.
Kebangkitan: Ellyas Pical vs Chang Tae-il (7 Oktober 1987).

Kekalahan dari Khaosai Galaxy pada Februari 1987 sempat membuat langkah Ellyas Pical goyah. Gelar IBF Junior Bantamweight yang sebelumnya ia genggam dicabut oleh organisasi, dan sabuk itu kemudian jatuh ke tangan Chang Tae-il, petinju tangguh asal Korea Selatan.
Namun, publik Indonesia tidak perlu menunggu lama untuk melihat kebangkitan sang “The Exocet”. IBF memberi Pical kesempatan untuk merebut kembali sabuk yang dulu pernah ia miliki, lewat duel perebutan gelar dunia melawan Chang Tae-il. Pertarungan akbar ini kembali digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, pada 7 Oktober 1987.
Atmosfer GBK malam itu begitu luar biasa. Puluhan ribu penonton hadir untuk memberi dukungan penuh kepada Pical, yang dianggap sebagai pahlawan olahraga Indonesia.
Laga berlangsung ketat. Chang Tae-il terkenal dengan gaya bertarung disiplin khas Korea Selatan, dengan defense rapat dan stamina tinggi. Pical mencoba memecah pertahanan lawannya dengan kombinasi hook kiri dan body shot yang menjadi andalannya.
Sepanjang 15 ronde, pertarungan berjalan seimbang. Pical terlihat dominan di ronde-ronde awal, sementara Chang mampu mengejar poin di tengah pertarungan. Namun, determinasi, semangat juang, dan sorakan penonton Indonesia menjadi energi tambahan bagi Pical.
Saat bel ronde terakhir berbunyi, kedua petinju sama-sama masih berdiri tegak. Hasil akhirnya ditentukan lewat keputusan juri (split decision/SD). Dua juri memberikan kemenangan tipis untuk Pical, sementara satu juri melihat pertarungan imbang atau condong ke Chang.
Keputusan ini memicu sorak-sorai luar biasa di GBK. Ellyas Pical resmi menjadi juara dunia IBF Junior Bantamweight untuk ketiga kalinya. Kemenangan ini sekaligus membuktikan bahwa ia masih salah satu petinju elite dunia, meski sempat jatuh dari puncak.
Momen ini dianggap sebagai puncak kebangkitan karier Pical, dan makin mengukuhkan namanya sebagai legenda tinju Indonesia serta ikon olahraga nasional.
Pertahanan Gelar dan Kekalahan di Amerika.
Setelah merebut kembali sabuk IBF Junior Bantamweight dari Chang Tae-il pada 7 Oktober 1987, Ellyas Pical kembali menunjukkan kualitasnya sebagai juara sejati. Ia berhasil mempertahankan gelarnya sebanyak tiga kali berturut-turut, menambah reputasinya sebagai salah satu petinju terbaik di kelasnya.
Namun, puncak tantangan datang ketika Pical harus meninggalkan kenyamanan bertanding di tanah air dan menerima tantangan internasional. Lawannya adalah Juan Polo Pérez, petinju tangguh asal Kolombia yang dikenal memiliki gaya bertarung agresif dan stamina prima.
Pertarungan ini digelar di Valley Sports Arena, Los Angeles, Amerika Serikat, pada 14 Oktober 1989. Laga ini menjadi ujian berat bagi Pical, karena ia tidak hanya menghadapi lawan tangguh di atas ring, tetapi juga atmosfer asing di luar negeri yang jauh dari dukungan langsung rakyat Indonesia.
Sejak ronde awal, Pérez tampil agresif dengan pukulan cepat dan kombinasi yang terus menekan. Pical berusaha melawan dengan hook kiri khasnya, namun lawannya lebih dominan dalam hal volume pukulan dan kontrol ring.
Pertarungan berjalan penuh selama 12 ronde. Setelah bel akhir berbunyi, keputusan juri bulat (unanimous decision/UD) diberikan kepada Juan Polo Pérez. Kekalahan ini membuat Ellyas Pical harus melepaskan gelar juara dunia IBF yang sudah ia genggam dengan susah payah.
Bagi banyak penggemar di Indonesia, kekalahan ini terasa pahit. Namun, harus diakui bahwa tampil di Amerika dengan lawan sekelas Pérez memang menjadi ujian paling berat sepanjang kariernya. Kekalahan ini juga menjadi awal dari fase menurun dalam perjalanan tinju profesional Ellyas Pical.
Fase Akhir Karier Ellyas Pical.
Setelah kehilangan sabuk dunia dari Juan Polo Pérez pada 14 Oktober 1989, Ellyas Pical masih mencoba bangkit. Ia kembali naik ring pada 12 Maret 1990 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, menghadapi petinju Amerika Serikat Greg Richardson. Pertarungan berjalan ketat hingga 12 ronde penuh, namun Pical kalah tipis melalui majority decision (MD).
Tidak menyerah, Pical kembali mencoba peruntungannya pada 10 November 1990, juga di GBK, melawan Charles Hery. Sayangnya, laga tersebut berakhir dengan hasil draw setelah 10 ronde. Hasil ini membuat Pical menyadari bahwa masa keemasannya di ring sudah mulai lewat. Tak lama kemudian, ia pun mengumumkan pensiun dari dunia tinju profesional.
Namun, gairahnya untuk bertinju belum benar-benar padam. Setelah hampir satu dekade meninggalkan ring, pada 28 Mei 2000, Ellyas Pical melakukan comeback spektakuler di masa senjanya. Masih bertarung di GBK, ia menghadapi Juwono dalam pertarungan ekshibisi profesional selama 10 ronde. Pical berhasil menang angka (PTS) dan menutup duel terakhir dalam karier profesionalnya dengan senyum kemenangan.
Dengan catatan akhir karier 20 kemenangan (11 KO), 5 kekalahan, dan 1 kali imbang, Ellyas Pical tetap tercatat sebagai legenda tinju Indonesia. Ia bukan hanya juara dunia pertama dari Indonesia, tetapi juga simbol harapan dan kebanggaan rakyat dari sebuah negeri kepulauan yang mampu menembus panggung dunia.
Kisah Ellyas Pical adalah cerita tentang mimpi besar dari seorang anak pulau kecil yang berhasil menaklukkan dunia. Dari Kepulauan Kei, Maluku, ia merintis jalan panjang hingga akhirnya menjadi juara dunia tinju pertama dari Indonesia. Dengan hook kiri mematikan, Pical bukan hanya menumbangkan lawan-lawannya, tetapi juga mengangkat nama Indonesia di panggung internasional.
Meskipun kariernya penuh pasang surut—mulai dari merebut sabuk dunia, kejatuhan pahit, hingga comeback di masa tua—Ellyas Pical tetap dikenang sebagai sosok yang menginspirasi. Ia membuktikan bahwa kerja keras, disiplin, dan tekad baja dapat membawa seseorang dari kesederhanaan menuju kejayaan.
Kini, nama Ellyas Pical telah tertulis dengan tinta emas dalam sejarah olahraga Indonesia. Ia bukan sekadar seorang petinju, tetapi ikon dan legenda yang akan selalu dikenang oleh generasi demi generasi.
#EllyasPical #TinjuIndonesia #LegendaTinju #JuaraDunia #SejarahOlahraga #BoxingLegend










Pingback: Balas Dendam KO Terbaik dalam Tinju Dunia