Raja Super Welter Bertukar Tahta Jalur WBC (2010–2025)

Raja Super Welter Bertukar Tahta Jalur WBC (2010–2025)

Setiap era dalam tinju dunia selalu punya jalurnya sendiri — dan untuk kelas Super Welter (154 lbs), sabuk hijau legendaris milik WBC (World Boxing Council) telah menjadi simbol kekuasaan yang bergengsi.
Di jalur inilah para petarung tangguh menapaki perjalanan menuju keabadian, saling berebut tahta demi satu status: raja sejati kelas super welter dunia.

Dalam rentang waktu lebih dari satu dekade terakhir, sabuk ini berpindah tangan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kadang lewat duel klasik yang berakhir dramatis, kadang pula melalui keputusan kontroversial yang memicu perdebatan panjang.
Setiap pemegangnya membawa ciri khas berbeda — ada yang dikenal karena kecepatan dan teknik, ada yang menonjol karena kekuatan mentah, ada pula yang memadukan keduanya dalam kesempurnaan gaya bertinju modern.

Jalur WBC menjadi saksi bagaimana para juara ini bertumbangan satu per satu, hingga akhirnya muncul sosok baru yang melanjutkan dinasti kejayaan di tahun-tahun terakhir.
Dan kini, saat debu pertarungan mulai mereda, kita akan menelusuri kisah panjang tentang bagaimana sabuk hijau WBC itu berpindah tangan — dari satu era kejayaan ke era berikutnya — membentuk sejarah yang menentukan arah tinju dunia hingga hari ini.

Daftar isi

1.Era Manny Pacquiao – Awal Ledakan Global Jalur WBC Super Welter (2010)

manny pacquiao juara WBC super welter
credit:Top rank/youtube

Awal dekade 2010 menjadi babak penting dalam sejarah kelas Super Welterweight (154 lbs). Saat itu, banyak yang menganggap divisi ini sebagai “tanah peralihan” antara kecepatan kelas welter dan kekuatan kelas menengah.
Namun tak ada yang menyangka, seorang petinju kecil dari Filipina akan mengguncang seluruh dunia tinju lewat perjalanan singkatnya di kelas ini — Manny “Pacman” Pacquiao.


🌍 Latar Belakang: Dari Kelas Ringan ke Super Welter

Sebelum tahun 2010, Pacquiao sudah dianggap fenomena hidup. Ia memulai karier profesional di kelas terbang (108 lbs), lalu menaklukkan satu per satu divisi di atasnya: super bantam, feather, super feather, ringan, light welter, dan welter.
Setiap kenaikan berat badan bukan hanya berhasil ia taklukkan, tapi selalu diwarnai dengan kemenangan spektakuler — bahkan atas nama-nama besar seperti Marco Antonio Barrera, Erik Morales, Juan Manuel Marquez, dan Ricky Hatton.

Setelah menumbangkan Miguel Cotto pada November 2009 untuk merebut sabuk WBO Welterweight, Pacquiao sudah menjadi ikon global. Namun, ia masih haus tantangan.
Ketika Floyd Mayweather Jr. menolak duel pada awal 2010 karena perdebatan soal tes doping, Pacquiao memilih untuk tetap melangkah — ke divisi yang lebih besar.

Dan pilihan itu jatuh pada Antonio Margarito, petinju asal Meksiko dengan tinggi 180 cm dan reputasi keras kepala di ring.

SIMAK JUGA: Para raja super welter bertukar tahta jalur WBA


🏟️ Duel Bersejarah: Pacquiao vs Margarito (13 November 2010)

pacquiao vs margarito
credit:Top rank/youtube

Pertarungan itu diumumkan oleh Top Rank sebagai perebutan sabuk WBC Super Welterweight (154 lbs) yang lowong. Lokasinya pun megah: Cowboys Stadium, Arlington, Texas — markas klub NFL terkenal dengan kapasitas lebih dari 80 ribu orang.

Bagi banyak pengamat, ini adalah taruhan besar.
Pacquiao yang bertinggi hanya 168 cm akan naik ke kelas ketujuhnya, menghadapi lawan yang jauh lebih besar dan kuat.
Namun pelatih legendarisnya, Freddie Roach, yakin kemampuan kecepatan dan akurasi Pacquiao cukup untuk mengatasi perbedaan fisik.

Ketika malam itu tiba, dunia menyaksikan salah satu penampilan terbaik Pacquiao sepanjang kariernya.


⚔️ Jalannya Pertarungan

Sejak ronde pertama, perbedaan kecepatan mencolok.
Pacquiao bergerak seperti kilat — masuk, pukul kombinasi 3–4 kali, lalu keluar sebelum Margarito sempat membalas.
Hook kiri Pacquiao terus mendarat di wajah Margarito, membuat area mata kanan sang petinju Meksiko bengkak parah sejak ronde kelima.

Margarito mencoba menekan, tapi Pacquiao terlalu cepat. Bahkan di ronde ketujuh, Pacquiao sempat menahan diri memukul saat melihat lawannya kesakitan.
Itu momen langka dalam tinju — di mana sang juara menunjukkan sisi kemanusiaannya di tengah pertempuran brutal.

Namun sang petarung Meksiko tetap bertahan hingga akhir ronde ke-12, dan ketika bel terakhir berbunyi, tak ada keraguan lagi siapa pemenangnya.
Pacquiao menang unanimous decision dengan skor telak:

  • 120–108
  • 118–110
  • 119–109

Ia bukan hanya menaklukkan Margarito, tapi juga mencetak sejarah baru: juara dunia delapan divisi berbeda — rekor yang belum pernah dicapai petinju mana pun sebelumnya.


🏅 Dampak dan Arti Kemenangan Ini

Kemenangan Pacquiao bukan sekadar soal sabuk WBC Super Welter.
Ia menegaskan bahwa batas kemampuan manusia dalam tinju bisa diredefinisi jika didukung disiplin, kecepatan, dan semangat pantang menyerah.

Pacquiao, yang hanya naik berat hingga sekitar 144 lbs saat timbang resmi (jauh di bawah batas 154 lbs), membuktikan bahwa ukuran tubuh bukan segalanya.
Ia mengandalkan kecepatan, sudut serangan, serta kemampuan membaca gerak lawan untuk menaklukkan petinju jauh lebih besar.

Setelah pertarungan, Pacquiao menolak mempertahankan sabuk itu.
Ia turun kembali ke kelas welter — keputusan yang membuat sabuk WBC Super Welter menjadi lowong.
Namun dalam catatan sejarah, statusnya sebagai juara WBC Super Welter 2010 tetap abadi.

2.Era Saul “Canelo” Álvarez – Lahirnya Wajah Baru Tinju Meksiko (2011–2013)

canelo juara WBC super welter

Ketika Manny Pacquiao meninggalkan sabuk WBC Super Welter pada akhir 2010, dunia tinju seperti menunggu siapa penerusnya.
Di tengah bayangan besar yang ditinggalkan Pacquiao dan Mayweather, muncul seorang pemuda berambut merah dari Guadalajara, Meksiko — Saul “Canelo” Álvarez, yang kala itu baru berusia 20 tahun.
Ia datang bukan hanya sebagai prospek, tapi sebagai simbol kebangkitan generasi baru tinju Meksiko yang ingin keluar dari bayang-bayang legendaris seperti Julio César Chávez dan Oscar De La Hoya.


🌟 Dari Remaja Ajaib ke Perebut Sabuk Dunia

Sebelum 2011, Canelo sudah menjadi nama yang ramai dibicarakan di Amerika Latin.
Dengan rekor tak terkalahkan lebih dari 35 laga, gaya bertarungnya yang agresif tapi rapi membuat banyak promotor melihatnya sebagai “permata mentah”.
Golden Boy Promotions, yang kala itu dipimpin oleh Oscar De La Hoya, melihat potensi luar biasa — dan memutuskan untuk melemparnya ke level dunia lebih cepat dari perkiraan.

Kesempatan itu datang pada 5 Maret 2011, ketika Canelo dijadwalkan melawan Matthew Hatton, adik dari legenda Inggris Ricky Hatton, untuk memperebutkan sabuk WBC Super Welterweight yang lowong.


🏆 Canelo vs Matthew Hatton (5 Maret 2011 – Anaheim, California)

canelo vs hatton 2011

Meski masih sangat muda, Canelo tampil dengan ketenangan luar biasa.
Hatton mencoba menekan dengan volume pukulan tinggi, namun perbedaan kekuatan sangat jelas.
Canelo mengatur jarak, mengontrol tempo, dan mendaratkan pukulan kanan lurus berulang kali yang membuat Hatton kewalahan.

Setelah 12 ronde, keputusan mutlak diberikan kepada Canelo:

  • 119–108
  • 118–109
  • 119–108

Dengan kemenangan itu, Saul “Canelo” Álvarez resmi menjadi juara dunia WBC Super Welterweight di usia 20 tahun — menjadikannya salah satu juara dunia termuda dalam sejarah divisi tersebut.


⚔️ Pertahanan Sabuk dan Transformasi Gaya

Setelah merebut sabuk, Canelo tidak berhenti.
Ia mempertahankannya beberapa kali melawan nama-nama besar seperti:

  1. Ryan Rhodes (Juni 2011) – Kemenangan TKO ronde ke-12 di Meksiko, yang menunjukkan perkembangan teknik dan stamina Canelo.
  2. Alfonso Gómez (September 2011) – Menang TKO ronde ke-6, dalam pertarungan yang menegaskan kekuatan pukulan kombinasi tubuh-kepala miliknya.
  3. Kermit Cintrón (November 2011) – TKO ronde ke-5, laga yang membuktikan kecepatan reaksi dan daya rusak pukulan kanan Canelo.

Namun ujian sesungguhnya datang di tahun berikutnya, saat ia menghadapi lawan-lawan yang jauh lebih berpengalaman.


🧠 Canelo vs Shane Mosley (5 Mei 2012)

Ini menjadi pertarungan yang sangat penting bagi perkembangan mental Canelo.
Shane Mosley adalah mantan juara dunia tiga divisi dan legenda hidup, meski sudah melewati masa puncak.
Canelo, dengan usia 21 tahun, tampil percaya diri namun tetap hormat.
Selama 12 ronde, ia mendominasi Mosley dengan jab keras, kontrol jarak, dan pertahanan rapat.

Kemenangan angka mutlak (119–109, 118–110, 119–109) bukan hanya memperpanjang rekor tak terkalahkannya, tapi juga membuat dunia tinju menyadari:
Canelo bukan lagi prospek — ia adalah superstar yang sedang tumbuh.


🥊 Canelo vs Josesito López (15 September 2012)

Pertarungan ini lebih bersifat “showcase fight”. López sebenarnya berasal dari kelas lebih ringan, tapi Canelo menjadikannya tontonan untuk publik Meksiko-Amerika.
Hasilnya brutal — lima kali knockdown sebelum López akhirnya dihentikan di ronde ke-5.
Dengan kemenangan ini, Canelo mencatatkan pertahanan keempat sabuk WBC Super Welterweight-nya.


Unifikasi dengan Austin Trout (20 April 2013)

Pada 2013, Canelo menghadapi ujian besar berikutnya — Austin Trout, juara dunia WBA Regular Super Welterweight, yang baru saja mengalahkan Miguel Cotto.
Pertarungan ini adalah langkah besar: unifikasi dua sabuk dunia antara WBC dan WBA.

Trout adalah petinju kidal yang cerdas dan teknikal, dikenal sulit dipukul bersih.
Namun Canelo menampilkan versi paling matang dari dirinya saat itu: tenang, sabar, dan efektif.
Ia menjatuhkan Trout di ronde ke-7 dengan hook kanan yang indah, lalu mempertahankan kendali hingga akhir.

Keputusan juri:

  • 115–112
  • 116–111
  • 118–109

Dengan kemenangan itu, Canelo menjadi juara dunia WBC & WBA Super Welterweight (Unified Champion) — di usia 22 tahun.


🧩 Duel Besar: Canelo vs Floyd Mayweather Jr. (14 September 2013)

Setelah kemenangan atas Trout, hanya satu nama yang tersisa untuk ditaklukkan: Floyd Mayweather Jr.
Duel ini menjadi salah satu pertarungan terbesar dalam sejarah tinju modern, dengan penjualan pay-per-view yang luar biasa.

Meski memegang dua sabuk, Canelo masih dianggap “penantang muda” dalam duel ini.
Mayweather, dengan gaya defensif sempurna dan refleks cepat, memberikan pelajaran keras.
Selama 12 ronde, Canelo kesulitan menembus pertahanan dan ritme “Money”.

Hasil akhir:
Mayweather menang unanimous decision (116–112, 117–111, 114–114)
— meski ada satu kartu aneh dari juri C.J. Ross yang memberi hasil imbang, yang kemudian dikritik dunia.

Dengan kekalahan itu, Canelo kehilangan sabuk WBC & WBA Super Welterweight sekaligus.
Namun meski kalah, momen itu menjadi tonggak penting: ia mendapat pelajaran berharga yang akan mengubah kariernya untuk selamanya.


🕊️ Akhir Era dan Awal Dinasti

Setelah kekalahan dari Mayweather, Canelo tidak hancur — ia justru berevolusi.
Ia memperbaiki gaya bertarungnya, belajar dari kekalahan itu, dan beberapa tahun kemudian naik menjadi juara dunia di empat divisi berbeda.

Tapi pada periode 2011–2013 inilah, Canelo membangun fondasi dinasti besar yang menjadikannya wajah baru tinju dunia.
Ia menghidupkan kembali kebanggaan Meksiko di jalur WBC Super Welterweight, setelah era Julio César Chávez berakhir lama.

Dan saat sabuk hijau itu beralih ke tangan Floyd Mayweather, perjalanan panjang jalur WBC pun berlanjut — menuju era berikutnya, di mana kepemilikan sabuk akan semakin kompleks dan bergengsi.


📜 Warisan Era Canelo di Jalur WBC Super Welter

  1. Juara Dunia Termuda di Divisi (20 Tahun)
    – Menjadi simbol generasi baru petinju Meksiko modern.
  2. Empat Kali Pertahanan Sukses
    – Mengalahkan nama-nama seperti Mosley, Gómez, Cintrón, dan López.
  3. Unifikasi Pertama di Era 2010-an (WBC–WBA)
    – Menegaskan statusnya sebagai juara sejati sebelum bertemu Mayweather.
  4. Kekalahan yang Mengubah Karier
    – Duel kontra Mayweather menjadi pelajaran berharga yang membentuk Canelo versi terbaik di masa depan.

3.Era Jermell Charlo – Raja Dingin yang Menyatukan Semua Sabuk (2016–2023)

jermell charlo penguasa WBC
credit:PBC/youtube

Ketika era Canelo Álvarez berakhir di jalur WBC Super Welter pada 2013, sabuk hijau itu sempat berpindah ke beberapa tangan.
Mulai dari Floyd Mayweather Jr. yang menguasainya usai mengalahkan Canelo, kemudian sempat dipegang oleh Jermell Charlo dan Tony Harrison dalam siklus rivalitas keras yang berlangsung selama hampir satu dekade.
Namun di antara semua nama itu, hanya satu yang berhasil mengubah sejarah divisi: Jermell “Iron Man” Charlo, sang petinju asal Houston yang akhirnya menyatukan seluruh sabuk dunia di kelas super welter.


🌍 Awal Mula: WBC Kembali ke Tangan Charlo (2016)

Sebelum menjadi nama besar, Jermell Charlo hanyalah salah satu dari “Si Kembar Charlo” — bersama saudara kembarnya, Jermall Charlo, yang juga juara dunia di kelas menengah.
Namun berbeda dengan saudaranya yang bertipe agresif, Jermell lebih tenang, sabar, dan berorientasi pada strategi.

Kesempatan besar datang pada 21 Mei 2016, ketika Jermell bertemu John Jackson, putra dari legenda Julian Jackson, untuk memperebutkan sabuk WBC Super Welterweight yang lowong.

Selama enam ronde pertama, Charlo justru tertinggal. Jackson tampil apik dengan jab akurat dan pergerakan cerdas.
Namun di ronde ke-8, Charlo melihat celah — satu kombinasi kanan–kiri cepat membuat Jackson limbung, dan serangan lanjutan membuatnya jatuh keras.

TKO ronde ke-8!
Jermell Charlo resmi menjadi juara dunia WBC Super Welterweight (154 lbs).


🧱 Membangun Reputasi: Pertahanan dan Evolusi Gaya

Charlo bukan juara yang cepat puas. Ia mulai mempertahankan sabuknya dengan kepercayaan diri tinggi dan gaya khas: sabar menunggu, lalu mematikan dalam sekali ledak.

  1. Juli 2017 – vs Charles Hatley
    Charlo menunjukkan kekuatan sejatinya. KO spektakuler di ronde ke-6 setelah hook kanan keras mendarat bersih.
  2. Oktober 2017 – vs Erickson Lubin
    Ini pertarungan yang memperlihatkan ketenangan seorang juara.
    Lubin datang sebagai prospek muda tak terkalahkan, namun Charlo menjatuhkannya hanya dalam 2 menit lewat uppercut kanan yang menghantam langsung ke rahang.
    KO ronde pertama — singkat, brutal, dan berkelas.

Dengan dua kemenangan ini, Charlo mempertegas statusnya sebagai salah satu juara paling berbahaya di kelas super welter.


⚔️ Duel Panas: Charlo vs Tony Harrison I (22 Desember 2018)

Tak ada perjalanan juara yang tanpa cobaan.
Pada akhir 2018, Charlo menghadapi Tony Harrison dalam laga pertahanan berikutnya.
Sebagian besar pengamat menilai Charlo mengontrol pertarungan dengan tekanan dan volume pukulan lebih tinggi, namun juri berpikir lain.

Keputusan kontroversial diberikan kepada Tony Harrison via unanimous decision.
Charlo pun kehilangan sabuk WBC-nya — kekalahan pertama dalam karier profesionalnya.

Hasil itu memicu perdebatan panjang. Banyak fans menilai Charlo pantas menang.
Namun alih-alih menyerang juri, ia menahan diri, menatap langsung ke arah Harrison, dan berucap pelan di depan kamera:

“Aku akan kembali, dan saat itu, tidak akan ada keputusan juri lagi.”


🔥 Balas Dendam: Charlo vs Tony Harrison II (21 Desember 2019)

Setahun berselang, Charlo menepati janjinya.
Rematch ini berlangsung penuh emosi — trash talk selama promosi, ketegangan di timbang badan, hingga suasana panas di ring.

Pertarungan berjalan seimbang di awal, namun di ronde ke-2 Harrison sempat terjatuh.
Ia bangkit dan tampil baik di tengah ronde, bahkan sempat unggul dalam poin di beberapa kartu juri.
Namun Charlo tetap tenang. Di ronde ke-11, satu kombinasi hook kanan kiri yang presisi membuat Harrison terjatuh dua kali berturut-turut.

Wasit menghentikan laga.
Charlo menang TKO ronde ke-11 dan merebut kembali sabuk WBC Super Welterweight!

Emosi Charlo pecah — ia berlutut, menangis di sudut ring, dan berteriak:

“Aku bilang kan, aku akan kembali!”

Kemenangan itu bukan hanya pembalasan, tapi juga awal dari misi yang lebih besar: menyatukan semua sabuk dunia.


🏆 Misi Unifikasi Dimulai (2020–2022)

Setelah menuntaskan urusan dengan Harrison, Charlo mulai mengincar sabuk-sabuk lainnya:

  • WBA (Super) dan IBF milik Jeison Rosario,
  • serta sabuk WBO milik Brian Castaño di kemudian hari.

Pada 26 September 2020, Charlo menghadapi Rosario dalam duel unifikasi besar-besaran.
Charlo tampil luar biasa: menjatuhkan Rosario tiga kali (ronde 1, 6, dan 8) sebelum menyelesaikan dengan jab ke tubuh yang menghentikan napas sang lawan.
KO ronde ke-8 — dan Charlo resmi menjadi juara dunia WBC, WBA, dan IBF Super Welterweight.

Namun masih ada satu sabuk tersisa untuk benar-benar menjadi Undisputed Champion (tak terbantahkan): sabuk WBO milik Brian Castaño.


⚖️ Duel Epik: Charlo vs Brian Castaño I (17 Juli 2021)

Duel pertama ini berlangsung sengit.
Castaño, dengan gaya menekan khas Argentina, membuat Charlo tertekan di ronde-ronde awal.
Namun Charlo bangkit di akhir laga dengan kombinasi keras dan pertahanan tajam.

Setelah 12 ronde, hasilnya imbang (draw).
Skor juri: 117–111 (Charlo), 114–113 (Castaño), 114–114.

Hasil kontroversial itu memicu rematch besar pada tahun berikutnya.


💥 Charlo vs Brian Castaño II (14 Mei 2022)

Inilah malam ketika Jermell Charlo menulis sejarah.
Kali ini, tidak ada kontroversi, tidak ada keraguan.

Charlo tampil agresif, disiplin, dan mematikan.
Hook kanannya terus menembus pertahanan Castaño, dan di ronde ke-10 — dua pukulan kombinasi cepat membuat Castaño terjatuh keras.
Wasit menghentikan pertarungan.

KO ronde ke-10!
Jermell Charlo resmi menjadi Undisputed Super Welterweight Champion (WBC, WBA, IBF, WBO) — petinju pertama dalam sejarah divisi yang menyatukan keempat sabuk dunia di era empat badan besar.


👑 Puncak dan Akhir Era (2023–2024)

Charlo mempertahankan status “tak terbantahkan” hingga 2023, namun cedera dan keputusan promotor membuat sabuk-sabuknya perlahan terurai.
Ketika ia naik ke kelas menengah super untuk menghadapi Canelo Álvarez pada September 2023, WBO secara resmi mencabut sabuknya.
Namun sejarah sudah tercipta — Jermell Charlo tetap tercatat sebagai raja sejati kelas 154 lbs.

Setelah Charlo meninggalkan jalur WBC, sabuk hijau itu kembali diperebutkan, hingga akhirnya jatuh ke tangan Sebastian Fundora pada 2024.
Namun jejak Charlo tetap menjadi bayangan panjang di setiap juara baru setelahnya.


📜 Warisan Era Jermell Charlo di Jalur WBC Super Welter

  1. Juara Dunia Dua Kali (2016–2018, 2019–2023)
    – Sempat kehilangan sabuk ke Harrison, lalu merebutnya kembali dengan TKO.
  2. Unifikasi Besar-besaran (2020–2022)
    – Menguasai WBC, WBA, IBF, dan akhirnya WBO.
  3. Raja Tak Terbantahkan (Undisputed Champion)
    – Pertama dalam sejarah kelas super welter era modern.
  4. Petinju Paling Efisien di Divisi 154 lbs
    – Menang lewat KO/TKO atas nama-nama besar seperti Lubin, Harrison, Rosario, dan Castaño.
  5. Mendefinisikan Generasi Baru
    – Menjadi inspirasi gaya bertarung modern: tenang, sabar, namun eksplosif ketika melihat celah.

4. Era Sebastian Fundora – Menara dari California yang Mengguncang Dunia (2024–2025)

sebastian fundora juara WBC atas tim tszyu
credit:PBC/youtube

Setelah Jermell Charlo naik ke kelas menengah super dan status “Undisputed” dipecah pada 2023, sabuk WBC Super Welter kembali terbuka.
Banyak yang berebut, namun hanya satu nama yang menarik perhatian dunia tinju:
Sebastian “The Towering Inferno” Fundora, petinju jangkung 197 cm yang berlaga di kelas 154 lbs — sesuatu yang hampir mustahil secara fisik.

Dengan tinggi seperti petinju kelas berat, tapi berkompetisi di super welter, Fundora menjadi fenomena tersendiri.
Gaya bertarungnya pun unik: bukannya bertarung dari jarak jauh sebagaimana mestinya petinju tinggi, ia justru suka bertarung jarak dekat, menukar pukulan dan mengandalkan uppercut tajam yang bisa mematahkan ritme lawan.


🌪️ Kebangkitan dari Kekalahan (2023–2024)

Sebelum mencapai puncak, Fundora sempat mengalami titik nadir.
Pada 8 April 2023, ia mengalami kekalahan mengejutkan dari Brian Mendoza — sebuah KO brutal di ronde ke-7 yang menghentikan langkahnya merebut unifikasi.
Banyak pengamat menilai kekalahan itu menjadi momen evaluasi besar-besaran bagi Fundora, yang saat itu masih berusia 25 tahun.

Namun seperti pepatah lama, “seorang juara sejati tak dinilai dari kemenangannya, melainkan dari bagaimana ia bangkit setelah jatuh.”
Fundora tidak menyerah. Ia melakukan perombakan strategi besar, memperkuat pertahanan, meningkatkan jab, dan lebih disiplin menjaga jarak.


🥇 Peluang Datang: Fundora vs Tim Tszyu (30 Maret 2024)

Kesempatan emas datang setahun kemudian.
Ketika Jermell Charlo resmi melepaskan sabuk WBC, badan tinju dunia menetapkan duel perebutan gelar antara Tim Tszyu (Australia, juara sementara WBO) dan Sebastian Fundora (penantang utama WBC).

Pertarungan berlangsung di Las Vegas, disiarkan global, dan menjadi salah satu laga paling dinantikan tahun itu.
Banyak yang meragukan Fundora, apalagi usai KO dari Mendoza.
Namun malam itu, ia tampil sangat berbeda.

Fundora menggunakan jab panjang dengan efisien, menjaga jarak, dan membuat Tszyu frustrasi.
Meski hidungnya patah di ronde awal akibat benturan kepala, Fundora terus menekan tanpa mundur.
Setelah 12 ronde keras, juri memberi kemenangan tipis majority decision untuk Fundora (115–113, 116–112, 114–114).

Dengan hasil itu, Sebastian Fundora resmi menjadi Juara Dunia WBC Super Welterweight 2024, sekaligus juara sementara WBO karena sabuk Tszyu ikut dipertaruhkan.

🥊 Rematch Panas: Fundora vs Tim Tszyu II (19 Juli 2025)

Empat bulan setelah kemenangan tipis di Las Vegas, publik kembali menuntut pembuktian ulang.
Sebagian penggemar menilai kemenangan Fundora atas Tszyu pada Maret 2024 masih terlalu tipis, terlebih karena hidungnya patah sejak ronde awal.
Namun Fundora tak menghindar — ia justru menerima rematch dan bersedia kembali naik ring melawan Tim Tszyu pada 19 Juli 2025 di Los Angeles, California.

Sejak ronde pertama, perbedaan sudah terlihat jelas.
Fundora tampil jauh lebih tenang dan terukur.
Ia menggunakan jab panjang untuk menjaga jarak, lalu menekan dengan kombinasi uppercut di jarak dekat.
Sementara Tszyu mencoba membalas dengan tekanan konstan, namun tampak kesulitan menghadapi jangkauan ekstrem Fundora.

Memasuki ronde ke-7, darah mulai mengalir dari hidung Tszyu akibat pukulan beruntun.
Tim corner Tszyu akhirnya memutuskan menghentikan pertarungan di antara ronde ke-7 dan ke-8 (RTD) — membuat Fundora menang secara resmi dengan RTD Ronde 7.

Kemenangan ini menegaskan dominasi Sebastian Fundora sebagai Juara Dunia WBC Super Welterweight sejati, sekaligus membungkam semua keraguan publik setelah pertarungan pertama.
Kini, statusnya bukan lagi “juara karena keputusan tipis”, melainkan juara yang benar-benar menguasai divisi.

🔰 Gaya Unik: Menara yang Tak Mau Mundur

Banyak petinju tinggi memilih gaya defensif — bermain aman di luar jangkauan.
Namun Fundora justru kebalikannya: ia menekan, menukar pukulan, dan bertarung seolah dirinya setinggi 160 cm, bukan 197 cm.

Gaya ini membuatnya disukai publik karena laga-laganya selalu atraktif.
Uppercut kirinya tajam, kombinasi cepat, dan stamina luar biasa membuat lawan kelelahan di ronde-ronde akhir.

Namun di sisi lain, gaya itu juga berisiko tinggi.
Fundora beberapa kali terkena counter keras, termasuk saat melawan Mendoza dan bahkan Tszyu.
Namun dengan pengalaman bertambah, ia mulai menggabungkan jarak aman dan tekanan seimbang, menjadikannya lebih matang dibanding versi sebelumnya.


🏟️ Era Baru Super Welter: Wajah yang Segar dan Tak Terduga

Kemenangan atas Tszyu bukan sekadar hasil, tapi simbol pergantian generasi.
Dari era Jermell Charlo yang dingin dan efisien, kini WBC Super Welter dipegang oleh sosok muda dengan karakter flamboyan dan gaya bertarung berani mati.

Fundora membawa semangat baru: tinggi menjulang, tapi tetap rendah hati.
Ia tak menyombongkan diri, bahkan seusai mengalahkan Tszyu, Fundora berkata:

“Saya masih belajar. Saya ingin jadi juara yang layak, bukan hanya karena tinggi badan.”

Kalimat sederhana itu menggambarkan pribadi Fundora: pekerja keras, tidak sombong, dan berani menghadapi siapa pun di ring.

Sebastian Fundora mungkin belum mencapai level “tak terbantahkan” seperti Charlo, tapi pondasinya sudah terbentuk kuat.
Ia membuktikan bahwa tinggi badan bukan keanehan — melainkan senjata unik bila digunakan dengan cerdas.

Dengan usia masih muda dan mental baja, Fundora berpotensi menjadi wajah baru kelas super welter, serta penjaga warisan WBC di dekade ini.
Dan ketika suatu hari nanti generasi baru muncul, nama Fundora akan tetap disebut —
sebagai “Menara yang Berani Turun ke Parit dan Menang dengan Hati.”

#TinjuDunia #KelasSuperWelter #WBC #MannyPacquiao #CaneloAlvarez #JermellCharlo #SebastianFundora #SejarahTinju #JuaraDuniaWBC #BoxingHistory

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top