Dalam sejarah panjang dunia tinju, ada banyak kisah inspiratif yang lahir di luar ring. Salah satunya adalah perjalanan spiritual para petinju yang memutuskan untuk memeluk agama Islam. Keputusan mereka bukan sekadar perubahan nama atau simbol, tetapi juga transformasi batin yang mendalam—lahir dari pergulatan hidup, ketenaran, hingga pencarian makna sejati.
Menjadi mualaf bagi sebagian dari mereka bukan hal yang mudah. Ada yang harus menghadapi tekanan publik, ada pula yang ditinggalkan sponsor, bahkan dikucilkan di masa puncak karier. Namun, justru di balik tantangan itulah muncul keteguhan hati dan kekuatan baru yang membentuk jati diri mereka sebagai manusia, bukan hanya sebagai petarung.
Artikel ini akan mengulas secara mendalam kisah para petinju dunia yang memeluk Islam—bagaimana perjalanan hidup mereka sebelum dan sesudah menjadi mualaf, perubahan sikap, hingga dampaknya terhadap karier dan kehidupan pribadi.
Sebuah perjalanan yang bukan hanya tentang tinju, tetapi juga tentang iman, perjuangan, dan pencarian makna hidup yang sejati.
1.Muhammad Ali.

Dalam sejarah olahraga dunia, jarang ada sosok sefenomenal Muhammad Ali. Ia bukan hanya petinju, tetapi simbol keberanian, keyakinan, dan perubahan. Di balik julukannya sebagai The Greatest, ada kisah spiritual yang mendalam — tentang bagaimana seorang anak kulit hitam dari Louisville, Kentucky, bernama Cassius Marcellus Clay Jr, menemukan kedamaian sejati lewat agama Islam.
Awal kehidupan dan lahirnya seorang juara.
Cassius Clay lahir pada 17 Januari 1942. Ia tumbuh di lingkungan sederhana dengan mimpi besar. Dunia tinju dikenalnya sejak usia 12 tahun, ketika sepedanya dicuri dan ia bersumpah akan menghajar pencurinya. Seorang polisi yang juga pelatih tinju melihat semangatnya dan mulai membimbing Clay muda. Sejak itu, perjalanan panjangnya dimulai.
Bakatnya luar biasa. Ia memenangkan medali emas Olimpiade 1960 di Roma, dan tak lama setelah itu menjadi profesional. Gaya bertinjunya unik — cepat, licin, dan penuh percaya diri. Ia sering berkata, “Aku terbang seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah.” Kalimat itu menjadi ikon baru di dunia tinju modern.
Kejayaan dan perubahan besar.
Puncak pertama karier Clay datang saat ia mengalahkan juara dunia Sonny Liston pada 25 Februari 1964. Dunia tercengang — seorang anak muda berusia 22 tahun menumbangkan monster menakutkan yang sebelumnya dianggap tak terkalahkan. Namun beberapa hari setelah kemenangan itu, Clay membuat pengumuman mengejutkan: ia memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad Ali.
Keputusan ini mengguncang Amerika Serikat. Saat itu, isu ras dan agama masih sangat sensitif. Banyak orang menuduhnya pengkhianat, sementara sebagian lain mengaguminya karena berani menunjukkan jati diri. Bagi Ali, memeluk Islam bukan sekadar mengganti nama, melainkan bentuk kebebasan sejati — bebas dari tekanan, bebas dari penindasan, dan bebas untuk menjadi dirinya sendiri.
Menolak perang demi keyakinan.
Tahun 1967, ketika pemerintah AS mewajibkan pria muda untuk ikut berperang di Vietnam, Muhammad Ali menolak. Alasannya jelas: iman. Ia berkata bahwa Islam melarangnya membunuh orang tak bersalah, terlebih sesama manusia yang tak pernah menyakitinya.
Pernyataan ini membuatnya kehilangan segalanya — sabuk juara dunia dicabut, lisensi tinju dihapus, dan ia bahkan terancam penjara. Selama hampir empat tahun, Ali tak diizinkan bertarung. Namun, justru dalam masa tersulit itulah keyakinannya semakin kuat. Ia memilih mempertahankan prinsip, meski dunia menentangnya.
Kembali menjadi raja.
Tahun 1971, setelah perjuangan panjang di pengadilan, namanya akhirnya dipulihkan. Muhammad Ali kembali naik ring dengan semangat baru. Ia melawan Joe Frazier dalam pertarungan legendaris Fight of the Century. Meski kalah di laga pertama, Ali membalas dendam dalam dua pertemuan berikutnya.
Namun momen paling dikenang adalah saat ia menghadapi George Foreman di Zaire tahun 1974 dalam duel Rumble in the Jungle. Hampir semua orang menganggap Foreman akan menghancurkan Ali. Tapi Ali punya strategi brilian yang disebut “rope-a-dope”. Ia membiarkan Foreman memukul sampai lelah, lalu menyerang balik. Di ronde kedelapan, Foreman tumbang. Dunia bersorak. Ali kembali menjadi juara dunia.
Islam dan kedamaian batin.
Setelah kembali menjadi raja, Muhammad Ali makin mendalami Islam. Ia tak hanya mengenal Islam dari nama, tapi dari hati. Ia mulai banyak berdakwah, berkeliling dunia, dan menunjukkan wajah Islam yang penuh kedamaian. Di usia 30-an, ia menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan menyebut pengalaman itu sebagai titik balik kehidupannya.
Ali berubah menjadi sosok yang lembut dan penuh kasih. Ia berbicara tentang pentingnya toleransi, persaudaraan, dan keadilan. Bagi banyak orang, Ali bukan hanya legenda olahraga, tapi juga contoh nyata bahwa ketenaran tak berarti apa-apa tanpa iman.
Sakit, ketenangan, dan akhir perjalanan.
Di akhir hayatnya, Muhammad Ali harus menghadapi ujian lain. Ia didiagnosis mengidap penyakit Parkinson. Meski tubuhnya melemah, semangatnya tak pernah padam. Ali tetap aktif dalam kegiatan sosial dan kemanusiaan. Ia membantu korban perang, mendukung misi perdamaian, dan menjadi duta persahabatan antarbangsa.
Muhammad Ali wafat pada 3 Juni 2016 di usia 74 tahun. Dunia berduka, bukan hanya karena kehilangan juara dunia, tapi juga kehilangan sosok yang mengajarkan arti keberanian sejati — keberanian untuk melawan ketidakadilan, keberanian untuk memaafkan, dan keberanian untuk percaya pada Tuhan.
Warisan yang abadi.
Hari ini, nama Muhammad Ali lebih dari sekadar legenda tinju. Ia simbol keyakinan, kebebasan, dan kekuatan iman. Keputusannya menjadi mualaf telah menginspirasi jutaan orang, termasuk banyak atlet yang kemudian mengikuti jejak spiritualnya. Ali membuktikan bahwa ketenangan sejati tidak ditemukan di atas ring, melainkan di dalam hati.
2.Mike Tyson.

Dalam sejarah tinju modern, nama Mike Tyson adalah simbol kekuatan, ketakutan, dan kontroversi. Ia dikenal sebagai “The Baddest Man on the Planet,” seorang petarung dengan gaya brutal dan mental baja. Namun di balik tubuh berotot dan reputasi liar, tersimpan kisah menyentuh tentang pencarian jati diri — sebuah perjalanan spiritual yang membawanya kepada agama Islam.
Awal kehidupan yang keras.
Michael Gerard Tyson lahir pada 30 Juni 1966 di Brooklyn, New York. Ia tumbuh di lingkungan miskin, keras, dan penuh kekerasan. Ayahnya pergi ketika ia masih kecil, sementara ibunya harus berjuang sendirian membesarkan anak-anaknya. Tyson kecil sering berurusan dengan masalah hukum. Sebelum berusia 13 tahun, ia sudah ditangkap lebih dari 30 kali karena berkelahi dan mencuri.
Namun nasibnya berubah ketika ia bertemu Cus D’Amato, seorang pelatih tinju tua yang melihat potensi luar biasa di balik amarah bocah tersebut. Cus menjadi sosok ayah yang tak pernah dimiliki Tyson. Ia mengajarkan disiplin, mental juara, dan nilai kehidupan. Di bawah bimbingannya, Tyson berkembang cepat, menjadi petinju amatir berbakat yang tak tertandingi di ring.
Dari remaja bermasalah menjadi juara dunia termuda.
Pada tahun 1985, Tyson melakukan debut profesional. Ia menaklukkan semua lawan dengan gaya bertarung agresif dan kekuatan pukulan luar biasa. Dalam waktu singkat, ia mencetak rekor KO demi KO yang menakutkan. Tahun 1986, di usia hanya 20 tahun, Mike Tyson merebut sabuk juara dunia kelas berat, menjadikannya juara termuda dalam sejarah. Dunia menobatkannya sebagai raja baru tinju.
Namun ketenaran datang terlalu cepat. Di balik sorotan kamera, Tyson mulai kehilangan arah. Ia terjebak dalam pesta, wanita, dan gaya hidup liar. Setelah meninggalnya Cus D’Amato pada 1985, Tyson kehilangan figur penuntun moral. Uang dan popularitas justru menyeretnya ke jurang kegelapan.
Masa kelam dan titik balik.
Tahun 1992 menjadi salah satu periode tergelap dalam hidup Mike Tyson. Ia dijatuhi hukuman penjara karena kasus pelecehan dan harus mendekam di balik jeruji selama tiga tahun. Di tempat inilah hidupnya mulai berubah. Di balik kesepian dan tekanan, Tyson mulai merenung dan mencari makna kehidupan yang sebenarnya.
Dalam penjara, Tyson banyak membaca buku-buku keagamaan, termasuk tentang Islam. Ia mulai tertarik dengan ajaran yang menekankan kedamaian, pengendalian diri, dan penyesalan atas kesalahan masa lalu. Tak lama kemudian, Tyson resmi memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Malik Abdul Aziz (dalam beberapa sumber juga disebut Malik Shabazz).
Ketika Mike Tyson menemukan ketenangan.
Setelah bebas dari penjara pada 1995, Tyson tampil dengan sikap yang jauh lebih tenang. Ia tetap kembali bertinju dan bahkan kembali merebut gelar juara dunia, namun kali ini dengan aura yang berbeda. Ia berbicara lebih sedikit, lebih sopan, dan lebih sering menunjukkan sisi religiusnya. Tyson mulai membaca Al-Qur’an secara rutin dan berusaha menjaga disiplin spiritual.
Meski begitu, perjalanan hidupnya tetap penuh ujian. Ia beberapa kali terseret kasus dan kehilangan banyak uang akibat manajemen buruk. Tapi kali ini, Tyson tidak lagi jatuh sedalam dulu. Ia mengatakan bahwa Islam membantunya berdamai dengan masa lalu dan mengajarkannya arti kesabaran serta tanggung jawab.
Transformasi dan kehidupan setelah pensiun.
Di masa pensiunnya, Mike Tyson menjadi pribadi yang sangat berbeda dari sosok brutal yang dulu dikenal dunia. Ia banyak berbicara tentang pertobatan, keluarga, dan spiritualitas. Dalam beberapa wawancara, Tyson mengaku bahwa dirinya kini berusaha menjalani hidup sederhana dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
“Saya dulu ingin menaklukkan dunia,” katanya dalam sebuah kesempatan. “Sekarang saya hanya ingin menaklukkan diri saya sendiri.”
Kalimat itu menunjukkan kedewasaan spiritual seorang pria yang telah melalui puncak ketenaran dan lembah kehancuran. Tyson kini lebih sering menghadiri acara keagamaan, mengunjungi masjid, dan berinteraksi dengan komunitas Muslim. Ia juga beberapa kali mengunjungi Mekkah untuk menunaikan umrah.
Islam yang mengubah segalanya.
Bagi Mike Tyson, Islam bukan pelarian, melainkan penyembuh. Ia mengakui bahwa tanpa iman, ia mungkin sudah lama hancur. Islam mengajarkannya untuk memaafkan masa lalu, menghormati sesama, dan menemukan kedamaian dalam kesederhanaan.
Kisah Tyson menjadi inspirasi bagi banyak orang — bahwa tak ada manusia yang terlalu rusak untuk berubah. Ia menunjukkan bahwa bahkan seorang pria yang pernah dijuluki “manusia paling berbahaya di planet ini” bisa menjadi sosok lembut yang mencintai Tuhan.
Warisan baru sang legenda.
Kini, Tyson dikenang bukan hanya karena KO brutalnya, tapi juga karena transformasi spiritualnya. Ia menjadi contoh bahwa ketenaran, uang, dan kekuasaan bukanlah jaminan kebahagiaan. Yang paling penting adalah hati yang damai.
Mike Tyson membuktikan bahwa seorang petinju sejati bukan hanya yang bisa menjatuhkan lawan, tapi juga yang mampu menaklukkan dirinya sendiri.
3.Dwight Muhammad Qawi.

Jika ada kisah hidup yang menggambarkan bagaimana iman bisa mengubah jalan seseorang secara total, maka cerita Dwight Muhammad Qawi adalah salah satunya. Ia bukan hanya petinju tangguh yang pernah menjadi juara dunia di dua divisi, tetapi juga simbol kebangkitan spiritual dari kegelapan menuju cahaya Islam.
Masa muda penuh kekerasan.
Dwight Muhammad Qawi lahir dengan nama asli Dwight Braxton pada 5 Januari 1953 di Camden, New Jersey. Hidupnya sejak kecil jauh dari kata mudah. Ia tumbuh di lingkungan keras, penuh kejahatan dan kemiskinan. Sejak remaja, Dwight sudah berurusan dengan hukum. Ia terbiasa hidup di jalanan, mencuri, berkelahi, dan berusaha bertahan dengan cara apa pun.
Pada usia 19 tahun, nasib buruk menimpanya. Ia tertangkap karena perampokan bersenjata dan dijatuhi hukuman penjara selama beberapa tahun. Di sinilah titik balik hidupnya dimulai — bukan di ring tinju, tapi di balik jeruji besi.
Menemukan tinju di dalam penjara.
Ketika menjalani hukuman di Rahway State Prison, Dwight menemukan dunia baru: tinju. Di penjara itu, ada program pembinaan olahraga bagi para narapidana. Salah satu pelatih penjara melihat bakat luar biasa dalam dirinya. Dengan postur pendek tapi kokoh, Dwight memiliki tenaga dan semangat yang tak biasa.
Ia berlatih keras setiap hari, memukul samsak dengan penuh amarah dan tekad. Tinju menjadi pelarian sekaligus terapi baginya. Di sanalah muncul keyakinan baru bahwa hidupnya masih bisa berubah. Ia mulai bermimpi menjadi seseorang yang berarti di luar tembok penjara.
Hidayah dan kelahiran kembali.
Namun perubahan terbesar bukan hanya datang dari tinju, melainkan dari iman. Selama di penjara, Dwight banyak berinteraksi dengan sesama napi yang beragama Islam. Ia melihat ketenangan dan disiplin mereka dalam menjalani hidup. Dari situ rasa ingin tahunya muncul, dan ia mulai mempelajari ajaran Islam secara perlahan.
Tidak lama kemudian, Dwight memutuskan memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Dwight Muhammad Qawi. “Qawi” dalam bahasa Arab berarti yang kuat, sebuah nama yang kelak mencerminkan kepribadiannya di atas ring dan dalam kehidupan.
Islam memberinya arah hidup baru. Ia belajar disiplin, tanggung jawab, dan pentingnya kontrol diri — hal yang dulu nyaris tak ia miliki. Dari seorang kriminal jalanan, ia berubah menjadi pria beriman dengan semangat untuk memperbaiki diri.
Karier profesional dan kejayaan di ring.
Setelah bebas dari penjara, Qawi memulai karier tinju profesionalnya pada tahun 1978. Dengan gaya bertarung penuh tekanan, tubuh pendek, dan tenaga besar, ia cepat menarik perhatian dunia. Meskipun hanya memiliki tinggi sekitar 170 cm, Qawi bertarung di kelas berat ringan melawan lawan-lawan bertubuh jauh lebih besar.
Pada tahun 1981, Qawi mengukir sejarah dengan menaklukkan Matthew Saad Muhammad — yang juga seorang mualaf — dan merebut gelar WBC Light Heavyweight Champion. Pertarungan itu brutal, dan Qawi menunjukkan teknik serta ketangguhan luar biasa.
Dua tahun kemudian, ia naik ke kelas penjelajah (cruiserweight) dan menjadi juara dunia kedua kalinya setelah mengalahkan Piet Crous. Dengan dua sabuk di dua divisi, Qawi membuktikan bahwa masa lalunya tak menentukan masa depannya.
Gaya bertarung dan karakter.
Qawi dikenal sebagai petinju “tank berjalan”. Ia terus menekan lawan, menembus pertahanan, dan memaksa duel jarak dekat. Tapi di luar ring, ia adalah sosok yang lembut dan religius. Islam membuatnya rendah hati dan menghormati semua orang. Ia sering mengatakan bahwa tanpa iman, ia mungkin sudah kembali ke dunia kejahatan.
Dalam banyak wawancara, Qawi mengaku bahwa keyakinannya pada Allah memberinya kekuatan untuk terus berjuang — bukan hanya untuk menang, tapi juga untuk tetap berada di jalan yang benar.
Ujian dan masa pensiun.
Seperti banyak petinju lain, karier Qawi juga mengalami pasang surut. Setelah beberapa kekalahan di akhir 1980-an, ia mulai jarang tampil dan akhirnya pensiun. Namun berbeda dengan masa lalunya yang penuh kemarahan, kali ini ia meninggalkan ring dengan hati tenang. Ia banyak menghabiskan waktu di komunitas Muslim, menjadi pembicara dan motivator bagi anak muda yang hidup di jalanan seperti dirinya dulu.
Inspirasi dari seorang mantan napi yang berubah.
Kisah Dwight Muhammad Qawi adalah contoh nyata bagaimana Islam mampu mengubah seseorang yang pernah tersesat menjadi pribadi baru yang berintegritas. Dari narapidana menjadi juara dunia, dari jalanan menuju masjid — semua terjadi karena hidayah dan kemauan untuk berubah.
Ia pernah berkata, “Saya dulu bertarung melawan semua orang. Sekarang saya bertarung melawan diri saya sendiri agar tetap berada di jalan Allah.”
Kata-kata itu menggambarkan betapa dalamnya perubahan dalam hidup Qawi.
Warisan yang tak terlupakan.
Mungkin Qawi tak sepopuler Muhammad Ali atau Mike Tyson, tapi kisah hidupnya punya makna yang sangat kuat. Ia membuktikan bahwa iman bisa lahir di tempat paling gelap sekalipun. Bahwa setiap manusia, seberapa buruk masa lalunya, selalu punya kesempatan kedua.
Nama Dwight Muhammad Qawi akan selalu dikenang sebagai contoh nyata dari kekuatan iman, tekad, dan perubahan sejati.
4.Bernard Hopkins.

Di dunia tinju, Bernard Hopkins dikenal sebagai simbol keteguhan, disiplin, dan umur panjang karier yang luar biasa. Namun di balik semua gelar dan rekor yang ia raih, ada kisah spiritual yang jarang disorot: perjalanan seorang mantan narapidana yang menemukan arah hidupnya setelah mengenal agama Islam.
Masa muda yang kelam.
Bernard Hopkins lahir pada 15 Januari 1965 di Philadelphia, Pennsylvania. Ia tumbuh di lingkungan keras yang penuh dengan kekerasan, narkoba, dan kejahatan jalanan. Sejak remaja, Hopkins sudah akrab dengan dunia kriminal. Ia sering terlibat perkelahian, pencurian, bahkan sempat ditikam di jalan.
Pada usia 17 tahun, kehidupannya berubah drastis ketika ia dijatuhi hukuman penjara 18 tahun karena perampokan bersenjata. Dunia seolah runtuh baginya. Namun justru di balik tembok dingin itulah, Hopkins mulai mengenal dua hal yang kelak mengubah hidupnya: tinju dan Islam.
Menemukan makna hidup di penjara.
Di penjara, Hopkins hidup dalam tekanan dan ketidakpastian. Tapi di tengah suasana itu, ia mulai mencari jalan keluar dari kegelapan masa lalunya. Ia menemukan Islam lewat pergaulan dengan sesama napi Muslim yang taat beribadah. Dari merekalah ia belajar disiplin, sabar, dan arti sebenarnya dari tanggung jawab.
Ia mulai rutin shalat, membaca Al-Qur’an, dan mengubah kebiasaannya. Islam mengajarkan Hopkins untuk mengendalikan emosi, menjaga diri dari perbuatan buruk, dan berjuang memperbaiki masa lalu. Ia mengatakan bahwa agama ini mengajarkannya untuk mengenal diri sendiri sebelum melawan orang lain.
Di waktu senggangnya, ia berlatih tinju menggunakan alat seadanya. Setiap kali memukul samsak tua di pojok sel latihan, Hopkins membayangkan bahwa ia sedang meninju masa lalunya sendiri. Di situlah lahir tekad: jika suatu hari ia bebas, ia akan menjadi seseorang yang berguna — bukan lagi penjahat jalanan.
Keluar dari penjara dan membangun karier dari nol.
Setelah menjalani hampir lima tahun masa hukuman, Bernard Hopkins akhirnya bebas pada 1988. Banyak orang menganggap ia akan kembali ke dunia lama, tapi Hopkins membuktikan sebaliknya. Ia keluar dari penjara sebagai pria baru — lebih tenang, lebih fokus, dan membawa semangat Islam dalam setiap langkahnya.
Ia memulai karier profesional dengan modal kecil dan tanpa dukungan besar. Bahkan dalam debutnya, ia kalah. Tapi bukannya menyerah, ia justru menjadikan kekalahan itu sebagai pelajaran berharga. Hopkins berlatih keras setiap hari, menjalani hidup sederhana, dan menjauhi segala hal yang bisa merusak dirinya. Ia sering berkata bahwa Islam membuatnya disiplin dan fokus pada tujuan.
Naik ke puncak dunia.
Kerja keras itu akhirnya terbayar. Tahun 1995, Hopkins merebut gelar juara dunia kelas menengah IBF setelah mengalahkan Segundo Mercado. Sejak saat itu, kariernya melesat. Ia mempertahankan gelar selama 10 tahun berturut-turut, rekor yang nyaris tak tertandingi di era modern.
Puncak kejayaannya datang pada tahun 2001 ketika ia menumbangkan Félix Trinidad dalam duel unifikasi yang luar biasa. Dunia tinju menobatkannya sebagai Raja Kelas Menengah Sejati.
Namun yang paling mengagumkan bukan hanya prestasinya, melainkan disiplin dan gaya hidupnya. Di saat banyak petinju tenggelam dalam popularitas, Hopkins tetap sederhana. Ia tidak minum alkohol, tidak berpesta, dan menjaga pola makan serta istirahat. Semuanya ia dasarkan pada prinsip hidup Islami: menjaga tubuh adalah bagian dari ibadah.
Keteguhan iman dan kedewasaan spiritual.
Hopkins dikenal sebagai sosok yang selalu menyeimbangkan kerasnya ring dengan ketenangan spiritual. Ia sering berbicara bahwa kunci suksesnya bukan hanya latihan, tapi juga iman dan kesabaran. Dalam banyak wawancara, ia mengaku bahwa Islam memberinya panduan untuk tetap rendah hati, fokus, dan tidak sombong.
Ketika ditanya apa yang membuatnya mampu bertahan hingga usia 40-an, ia menjawab sederhana: “Saya mengikuti aturan Allah. Saya jaga tubuh dan pikiran saya, karena keduanya adalah amanah.”
Bagi Hopkins, kemenangan sejati bukan hanya ketika tangan diangkat wasit, tapi ketika ia bisa menundukkan hawa nafsu dan tetap teguh dalam prinsip. Ia tidak pernah malu menunjukkan identitasnya sebagai Muslim, dan sering menolak tampil di acara yang bertentangan dengan keyakinannya.
Pensiun dengan kehormatan.
Bernard Hopkins terus bertarung hingga usia 50 tahun — sesuatu yang hampir mustahil di dunia tinju profesional. Ia mencatatkan sejarah sebagai juara dunia tertua sepanjang masa setelah merebut gelar kelas berat ringan pada usia 49 tahun.
Setelah pensiun, Hopkins banyak menghabiskan waktu bersama keluarga, aktif dalam kegiatan sosial, dan menjadi mentor bagi petinju muda. Ia juga sering memberi nasihat tentang pentingnya kedisiplinan, kerja keras, dan menjaga hubungan spiritual dengan Tuhan.
Warisan sang “Executioner”.
Bernard Hopkins membuktikan bahwa perubahan sejati datang dari dalam diri. Dari seorang remaja yang tersesat menjadi legenda dunia — semua karena keimanan, ketekunan, dan penyesalan yang tulus.
Ia mungkin dikenal sebagai “The Executioner” di ring, tapi di luar ring, ia adalah pria yang lembut, penuh kebijaksanaan, dan hidup dengan prinsip Islam yang kuat.
Kisah hidupnya menjadi pelajaran berharga: bahwa iman bukan sekadar keyakinan, tetapi fondasi untuk mengubah hidup. Bernard Hopkins bukan hanya petinju besar, tapi juga teladan tentang bagaimana cahaya Islam bisa menyinari jalan seseorang, bahkan dari tempat tergelap sekalipun.
5.Eddie Mustafa Muhammad.

Nama Eddie Mustafa Muhammad mungkin tidak sepopuler Muhammad Ali atau Mike Tyson di telinga generasi baru, namun di era 1970–1980-an, ia adalah salah satu petinju paling berbakat yang pernah menghiasi ring dunia. Di balik karier gemilangnya, tersimpan kisah perubahan spiritual yang mendalam — dari gaya hidup keras khas jalanan New York menuju kedamaian yang ia temukan lewat agama Islam.
Masa muda penuh gejolak.
Eddie Mustafa Muhammad lahir dengan nama Eddie Gregory pada 30 April 1952 di Brooklyn, New York. Ia tumbuh di kawasan yang keras dan penuh konflik sosial. Sejak kecil, Eddie sudah terbiasa hidup di tengah lingkungan yang menuntutnya untuk kuat dan tidak mudah menyerah.
Bakat bertinjunya muncul sejak usia belasan tahun, ketika ia berlatih di gym lokal untuk menghindari kehidupan jalanan. Ia memiliki teknik tajam, refleks cepat, dan gaya bertarung yang berani. Di usia 20 tahun, ia sudah menjadi salah satu prospek menjanjikan di kelas menengah. Namun di luar ring, kehidupannya tak seindah prestasinya — Eddie masih kerap terlibat dalam gaya hidup malam, pesta, dan hal-hal yang jauh dari nilai spiritual.
Karier profesional dan puncak kejayaan.
Eddie Gregory memulai karier profesional pada tahun 1972. Ia mencuri perhatian dengan kombinasi tinju elegan dan kekuatan pukulan yang solid. Setelah beberapa tahun naik turun, namanya mulai mencuat saat ia mengalahkan petinju kuat seperti Marvin Johnson dan Matthew Saad Muhammad (yang kelak juga menjadi mualaf).
Puncak kejayaannya datang pada tahun 1980, ketika ia merebut gelar juara dunia kelas berat ringan WBA setelah menaklukkan Marvin Johnson di Indianapolis. Sejak saat itu, dunia mengenalnya sebagai Eddie Mustafa Muhammad, setelah ia mengumumkan secara terbuka bahwa dirinya telah memeluk Islam.
Pergantian nama itu bukan sekadar simbol. Ia benar-benar menjalani hidup baru dengan prinsip dan kesadaran spiritual yang berbeda.
Menemukan Islam di tengah kejayaan.
Eddie mulai tertarik dengan Islam di akhir tahun 1970-an, saat banyak atlet Afrika-Amerika mencari identitas dan ketenangan batin melalui agama. Pengaruh tokoh-tokoh seperti Muhammad Ali dan para mualaf di komunitas tinju membuatnya penasaran untuk mempelajari Islam lebih dalam.
Ia banyak berdiskusi dengan sesama petinju Muslim, membaca Al-Qur’an, dan menghadiri kajian di masjid-masjid sekitar New York. Dari situlah ia menemukan ketenangan yang selama ini tak pernah ia rasakan, bahkan di puncak karier sekalipun. Islam memberinya arah hidup, disiplin, dan makna sejati dari kemenangan.
Ia kemudian mengubah namanya menjadi Eddie Mustafa Muhammad, sebagai bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW dan tanda bahwa dirinya telah menemukan identitas spiritual baru.
Hidup baru dengan disiplin dan kesadaran.
Sebagai seorang mualaf, Eddie mulai mengubah banyak hal dalam hidupnya. Ia meninggalkan pesta malam, alkohol, dan kebiasaan buruk lainnya. Ia juga mulai lebih selektif dalam memilih pertarungan dan manajemen kariernya.
Di ring, ia tetap tangguh dan tenang. Banyak penggemar mencatat perubahan gaya bertarungnya — lebih sabar, lebih taktis, dan lebih fokus. Semua itu mencerminkan perubahan batinnya.
Dalam beberapa wawancara, Eddie mengaku bahwa Islam memberinya kekuatan mental yang luar biasa. Ia tidak lagi takut kalah, karena baginya setiap pertarungan hanyalah ujian hidup. Ia berlatih bukan hanya untuk menang, tapi juga untuk menghormati tubuh dan rezeki yang diberikan Tuhan.
Dari juara dunia ke pelatih dan panutan.
Setelah pensiun, Eddie tidak meninggalkan dunia tinju. Ia beralih menjadi pelatih dan manajer, membimbing banyak petinju muda agar tidak terjebak dalam kesalahan yang sama seperti masa lalunya. Ia dikenal sebagai mentor yang disiplin, bijak, dan keras dalam mendidik anak asuhnya.
Eddie sering menekankan pentingnya mental dan spiritualitas dalam tinju. Menurutnya, menjadi petinju bukan hanya soal kekuatan fisik, tetapi juga tentang karakter dan kedewasaan. “Kemenangan sejati adalah saat kamu bisa mengalahkan dirimu sendiri,” katanya dalam satu kesempatan.
Warisan seorang pejuang yang berubah.
Eddie Mustafa Muhammad membuktikan bahwa Islam bisa menjadi cahaya di tengah gemerlap dunia hiburan dan olahraga yang penuh godaan. Dari sosok petinju muda yang liar, ia berubah menjadi pria dewasa yang beriman, disiplin, dan berpengaruh positif bagi generasi berikutnya.
Kisahnya mengingatkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Bahwa sebesar apa pun kesalahan masa lalu, pintu perubahan selalu terbuka bagi mereka yang tulus mencari kebenaran. Eddie Mustafa Muhammad adalah contoh nyata bahwa iman bisa menjadi kekuatan terbesar — bahkan lebih kuat dari pukulan di atas ring.
6.Matthew Saad Muhammad.

Sedikit petinju di dunia yang kisah hidupnya seaneh dan sekeras perjalanan Matthew Saad Muhammad. Ia bukan hanya seorang juara dunia yang melegenda karena pertarungannya yang brutal dan penuh drama, tapi juga sosok yang menjalani hidup penuh ujian sejak kecil. Di balik ring, ia menemukan kedamaian sejati — bukan dari popularitas atau uang, tapi dari keimanan dalam Islam.
Anak kecil yang ditinggalkan di jalan.
Matthew Saad Muhammad lahir pada 16 Juni 1954 di Philadelphia, Pennsylvania, dengan nama Maxwell Antonio Loach. Masa kecilnya berjalan penuh penderitaan. Saat ia masih balita, ibunya meninggal dunia, dan sang ayah menghilang entah ke mana. Ia kemudian diasuh oleh bibinya, tapi ketika kehidupan semakin sulit, bibinya tega meninggalkannya di jalan raya.
Kisahnya tragis — bocah kecil itu ditinggalkan di sebuah jembatan dengan catatan bertuliskan nama depannya saja. Ia kemudian ditemukan oleh polisi dan dibawa ke panti asuhan Katolik. Karena tidak tahu siapa keluarganya, pihak panti memberinya nama baru: Matthew Franklin, diambil dari nama jalan tempat ia ditemukan — Franklin Parkway.
Sejak saat itu, hidupnya dipenuhi perjuangan dan rasa kehilangan. Tapi semua itu kelak membentuk keteguhan hatinya di atas ring.
Jalan menuju dunia tinju.
Sebagai remaja, Matthew Franklin sering berkelahi di jalanan. Ia belajar tinju untuk membela diri, tapi bakatnya ternyata luar biasa. Setelah mengikuti beberapa kejuaraan amatir, ia beralih menjadi petinju profesional pada awal 1970-an.
Dengan gaya agresif dan stamina luar biasa, Franklin menjadi favorit penggemar. Ia dikenal sebagai petinju yang tidak pernah menyerah walau dihajar habis-habisan. Dalam banyak laga, ia sering tertinggal di ronde-ronde awal namun mampu bangkit dan menang dengan KO dramatis.
Julukan “Miracle Matthew” melekat padanya — karena seolah selalu ada keajaiban di setiap pertarungannya.
Menjadi juara dunia kelas berat ringan.
Puncak karier Matthew terjadi pada 1979, ketika ia menaklukkan Marvin Johnson dalam pertarungan brutal untuk merebut gelar juara dunia kelas berat ringan WBC. Duel itu menjadi salah satu pertarungan terbaik dekade 70-an, dan nama Matthew Franklin mulai disejajarkan dengan legenda seperti Bob Foster dan Victor Galíndez.
Namun pada masa kejayaannya itu pula, ia mulai merenung tentang makna hidup. Ketika kariernya mulai mapan dan uang mengalir deras, hatinya justru kosong. Ia mulai merasa bahwa kemenangan dan popularitas tidak memberi ketenangan sejati.
Di tengah pencarian spiritual itulah, ia bertemu dengan beberapa rekan petinju yang sudah lebih dulu masuk Islam, termasuk Eddie Mustafa Muhammad. Dari mereka, ia belajar tentang keesaan Tuhan, kedisiplinan, dan keseimbangan hidup.
Menjadi Muslim dan mengubah arah hidup.
Pada tahun 1979, Matthew Franklin akhirnya memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Matthew Saad Muhammad. Nama itu ia pilih sebagai penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW dan sebagai penanda babak baru dalam hidupnya.
Islam datang di saat yang tepat — ketika popularitas bisa membuat siapa pun kehilangan arah, ia justru menemukan pegangan baru. Ia mulai hidup lebih teratur, berusaha menjauh dari gaya hidup glamor, dan sering berbicara tentang pentingnya keimanan bagi seorang atlet.
Dalam beberapa wawancara, Matthew mengaku bahwa Islam membuatnya memahami arti kesabaran dan tanggung jawab. “Saya kehilangan segalanya sejak kecil,” katanya, “tapi saya menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sabuk juara: kedamaian dalam hati.”
Pertarungan di dalam dan di luar ring.
Setelah menjadi Muslim, Matthew tetap berkarier aktif di dunia tinju. Ia mempertahankan gelar juara dunia sebanyak delapan kali berturut-turut, melawan lawan-lawan tangguh seperti Yaqui López dan John Conteh.
Namun setelah kalah dari Dwight Muhammad Qawi pada 1981, kariernya mulai menurun.
Meski begitu, Matthew tidak kehilangan semangat. Ia tetap dikenal sebagai petinju yang pantang menyerah, baik di atas ring maupun dalam kehidupan. Ketika masa pensiun tiba, ia mengalami kesulitan finansial — bahkan sempat menjadi tunawisma di Philadelphia. Tapi yang menakjubkan, ia tetap berpegang pada Islam dan tidak menyalahkan takdir.
Baginya, setiap ujian adalah bagian dari perjalanan iman. Ia sering terlihat menghadiri masjid dan berbicara di komunitas tentang pentingnya bersyukur dan terus berjuang.
Warisan sang pejuang sejati.
Matthew Saad Muhammad meninggal dunia pada 25 Mei 2014 di usia 59 tahun. Meski hidupnya penuh naik-turun, kisahnya tetap dikenang sebagai salah satu yang paling menginspirasi dalam sejarah tinju.
Dari bocah yang dibuang di jalan, menjadi juara dunia, lalu mualaf yang taat — perjalanan hidupnya adalah simbol kekuatan, pengampunan, dan kebangkitan. Ia bukan hanya petinju hebat, tapi juga manusia yang berhasil menemukan kedamaian sejati dalam Islam.
Hingga kini, banyak penggemar tinju yang mengenangnya bukan karena sabuk juara yang pernah ia raih, tapi karena keteguhan imannya dan ketulusannya menghadapi hidup dengan segala keterbatasan.
7.Gervonta Davis.

Dalam dunia tinju modern, nama Gervonta Davis identik dengan kekuatan, kecepatan, dan gaya bertarung yang mematikan. Namun di balik semua kesuksesan dan sorotan lampu arena, kehidupan Davis juga dipenuhi badai — dari kasus hukum, konflik pribadi, hingga pergulatan batin yang panjang. Tapi siapa sangka, di balik sosok yang dulu dikenal liar itu, kini tumbuh seseorang yang perlahan menemukan kedamaian lewat Islam.
Masa kecil keras di Baltimore
Gervonta Davis lahir pada 7 November 1994 di Baltimore, Maryland, salah satu kota paling keras di Amerika. Masa kecilnya penuh penderitaan. Kedua orang tuanya kecanduan narkoba, dan ia sering berpindah-pindah rumah karena tidak ada yang benar-benar merawatnya.
Sejak usia tujuh tahun, Davis sudah belajar tinju di Upton Boxing Center, tempat yang kelak menjadi pelariannya dari kekacauan hidup. Di bawah bimbingan pelatih Calvin Ford, ia menemukan arah dan tujuan baru: menjadi juara dunia.
Namun meski tinju memberinya disiplin, lingkungan sekitar tetap menariknya ke hal-hal negatif. Sejak remaja, Davis sudah terbiasa dengan kekerasan jalanan dan gaya hidup bebas khas anak muda Baltimore.
Naik daun dan jadi bintang besar.
Davis melakukan debut profesionalnya pada 2013, dan sejak itu kariernya melesat cepat. Dengan pukulan eksplosif dan refleks luar biasa, ia menjadi salah satu petinju muda paling ditakuti di dunia. Dalam waktu singkat, ia merebut gelar juara dunia kelas bulu super IBF di usia hanya 22 tahun.
Kesuksesan itu diikuti dengan kemenangan spektakuler lain di berbagai divisi: kelas ringan super, kelas ringan, dan bahkan kelas welter ringan. Di ring, “Tank” adalah mesin penghancur; lawan-lawannya sering tumbang sebelum ronde ke-10.
Namun di luar ring, kehidupannya jauh dari tenang. Davis beberapa kali tersandung kasus hukum, mulai dari kekerasan domestik, kecelakaan lalu lintas, hingga tuduhan perusakan. Semua itu membuat banyak orang menganggapnya tidak akan pernah berubah.
Tapi justru dari masa-masa kelam itulah, titik baliknya dimulai.
Awal perubahan dan pencarian spiritual.
Sekitar tahun 2021, Davis mulai menunjukkan sisi baru dalam hidupnya. Ia mulai lebih introspektif dan sering berbicara tentang “kebersihan jiwa”. Dalam beberapa unggahan media sosial, Davis terlihat menghadiri acara keagamaan dan bergaul dengan komunitas Muslim di Baltimore.
Puncaknya terjadi pada tahun 2022, ketika Davis mengumumkan bahwa dirinya telah memeluk Islam. Ia mulai rutin menggunakan nama Abdul Wahid, dan kerap menulis kutipan bernada spiritual di akun pribadinya. Dalam beberapa wawancara, ia menyebut bahwa Islam membantunya menenangkan pikiran dan menjauh dari kebiasaan buruk.
“Dulu saya melawan semua orang, termasuk diri saya sendiri,” ujarnya. “Sekarang saya belajar bahwa kekuatan sejati adalah ketika kita bisa mengendalikan diri.”
Islam mengubah arah hidupnya.
Sejak menjadi Muslim, Gervonta Davis terlihat lebih fokus dan matang. Ia mulai berbicara tentang tanggung jawab, disiplin, dan pentingnya menjaga hati.
Beberapa rekan dekatnya menyebut bahwa Davis kini lebih banyak beramal secara diam-diam, sering mengunjungi masjid, dan lebih menghormati orang-orang di sekitarnya.
Dalam latihan, ia juga semakin tekun dan tidak mudah terpancing emosi. Banyak penggemar yang menyadari perubahannya di ring: ia kini lebih sabar, lebih tenang, dan lebih strategis. Semua itu mencerminkan kedewasaan yang lahir dari iman dan refleksi spiritual.
Bagi Davis, Islam bukan sekadar agama, tapi juga cara hidup baru. Ia pernah menulis dalam salah satu postingan:
“Saya bukan orang suci. Tapi saya mencoba setiap hari untuk jadi lebih baik. Allah memberi saya kesempatan kedua, dan saya tidak akan menyia-nyiakannya.”
Kata-kata itu mencerminkan tekadnya untuk berubah dan menjadikan keimanan sebagai pondasi hidup.
Dari kontroversi ke inspirasi.
Transformasi Davis tak terjadi dalam semalam. Ia masih belajar, masih jatuh bangun, tapi arah hidupnya kini jelas. Banyak penggemar yang tadinya mengkritik kini mulai menghormatinya karena keberaniannya untuk berubah di tengah popularitas.
Bagi anak muda Baltimore dan petinju generasi baru, Davis kini bukan hanya simbol kekuatan fisik, tapi juga teladan bahwa setiap orang bisa memperbaiki diri.
Islam memberinya panduan baru: menundukkan ego, menjaga lidah, dan menghormati sesama.
Dan yang paling menarik, Davis kini sering terlihat menolak tampil di acara-acara yang bertentangan dengan prinsip agamanya. Ia juga lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata dan tindakan di depan publik.
Warisan baru seorang “Tank”.
Gervonta Davis masih aktif bertarung dan terus memperpanjang rekor impresifnya. Tapi di luar gelar dan uang, perubahan spiritualnya mungkin adalah kemenangan terbesar dalam hidupnya.
Dari anak jalanan Baltimore yang penuh amarah menjadi Muslim yang sedang belajar tentang kedamaian — perjalanan ini membuktikan bahwa setiap manusia, tak peduli seberapa keras masa lalunya, selalu punya kesempatan untuk menemukan cahaya.
Kini, “Tank” bukan hanya simbol kekuatan, tapi juga lambang perubahan dan keteguhan hati.
Simak juga: ketika Gervonta davis merusak rekor petinju tak terkalahkan
8.Devin Haney.

Di tengah dunia tinju modern yang penuh glamor, pesta, dan ego besar, muncul satu sosok muda yang berbeda: Devin Haney. Petinju asal Amerika Serikat ini tidak hanya dikenal karena kecepatannya dan teknik bertahannya yang nyaris sempurna, tapi juga karena ketaatannya menjalani ajaran Islam.
Di usia muda, Haney sudah memegang sabuk juara dunia, hidup di puncak popularitas, tapi tetap rendah hati. Ia membuktikan bahwa menjadi seorang Muslim tidak menghalangi seseorang untuk berprestasi di dunia yang keras — justru menjadikannya lebih kuat dan fokus.
Awal kehidupan dan perjalanan menuju ring tinju.
Devin Miles Haney lahir pada 17 November 1998 di San Francisco, California, lalu tumbuh besar di Las Vegas, kota yang dikenal dengan kehidupan malam dan gemerlapnya. Tapi Haney tumbuh dengan nilai-nilai disiplin sejak kecil, berkat ayahnya Bill Haney, yang juga menjadi pelatih dan manajernya.
Haney mulai berlatih tinju sejak usia 7 tahun. Ia cepat menonjol karena memiliki refleks luar biasa dan gaya bertarung yang sangat cerdas. Sebelum genap berusia 20 tahun, ia sudah memiliki reputasi sebagai salah satu prospek paling menjanjikan di Amerika.
Namun di balik kesuksesannya itu, Haney menjalani hidup yang sangat berbeda dengan kebanyakan anak muda seumurannya. Ia tidak terjerumus dalam pesta, alkohol, atau pergaulan bebas — karena sejak remaja, Haney sudah mengenal Islam dan menjadikannya pegangan hidup.
Menemukan Islam dan kedamaian.
Devin Haney memeluk Islam secara terbuka pada usia muda. Ia mengaku bahwa agama ini memberinya ketenangan dan arah hidup yang jelas di tengah hiruk-pikuk dunia olahraga. Dalam banyak wawancara, Haney tidak pernah ragu menyebut dirinya seorang Muslim dan bangga dengan keyakinannya itu.
Ia sering terlihat berdoa sebelum dan sesudah bertarung, serta mengucapkan “Alhamdulillah” di depan kamera setelah menang. Dalam kehidupan sehari-hari, ia menjalankan shalat, berpuasa saat Ramadhan, dan selalu berusaha menjaga ucapan serta tindakannya.
Haney mengatakan bahwa Islam membantunya untuk menjaga fokus dan kedisiplinan, dua hal yang sangat penting dalam tinju. “Tanpa iman, saya tidak akan bisa tetap tenang di tengah tekanan,” ujarnya suatu kali. “Islam membuat saya tahu siapa saya dan untuk apa saya berjuang.”
Karier luar biasa dan kedewasaan spiritual.
Devin Haney mulai mencuri perhatian dunia ketika ia menaklukkan George Kambosos Jr. di Australia pada tahun 2022 untuk merebut gelar juara dunia kelas ringan tak terbantahkan. Ia menjadi juara dunia undisputed termuda dalam sejarah divisi tersebut.
Namun yang membuatnya unik bukan hanya prestasi, tapi juga caranya membawa diri. Saat banyak petinju muda sibuk dengan kontroversi dan drama, Haney tetap menjaga ucapan dan perilakunya. Ia menolak ikut gaya hidup hedon, lebih memilih waktu bersama keluarga dan komunitas Muslim di Las Vegas.
Bahkan dalam konferensi pers atau wawancara, Haney tidak jarang menyebut kata “InshaAllah” dan “Bismillah” — sesuatu yang jarang dilakukan oleh atlet Amerika pada umumnya. Hal ini membuatnya disegani, bahkan oleh mereka yang berbeda keyakinan.
Islam sebagai fondasi kedisiplinan.
Bagi Devin Haney, Islam bukan hanya tentang ibadah, tapi juga tentang karakter dan kontrol diri. Ia mengaku belajar banyak tentang kesabaran dan keadilan dari ajaran agama. Dalam tinju, di mana emosi dan ego sering menjadi lawan terbesar, Haney justru menunjukkan kedewasaan luar biasa untuk ukuran usianya.
Ia tidak pernah terjebak dalam adu mulut atau perilaku tidak sopan seperti beberapa petinju lain. Sebaliknya, ia tampil tenang, sopan, dan profesional. Banyak pengamat menilai bahwa mental Haney jauh di atas rata-rata — dan itu, menurutnya, adalah hasil dari iman dan doa.
Saat bulan Ramadhan, ia tetap berlatih sambil berpuasa. Ia mengatakan bahwa menahan lapar dan haus bukan kelemahan, tapi latihan spiritual. “Ketika saya berpuasa, saya merasa lebih kuat secara mental,” ucapnya. “Saya tahu Allah sedang menguji saya, dan saya ingin lulus dari ujian itu.”
Sosok inspiratif bagi generasi muda.
Devin Haney kini bukan hanya ikon tinju, tapi juga panutan bagi generasi muda Muslim di seluruh dunia. Ia membuktikan bahwa menjadi religius tidak berarti ketinggalan zaman. Justru, keimanan bisa menjadi bahan bakar kesuksesan jika dijalani dengan sungguh-sungguh.
Haney sering menggunakan platform media sosialnya untuk menyebarkan pesan positif — tentang pentingnya kerja keras, hormat kepada orang tua, dan selalu bersyukur. Ia juga menolak untuk tampil di acara yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Banyak remaja Muslim, terutama di Amerika, menjadikannya contoh nyata bahwa iman dan profesionalisme bisa berjalan seiring. Dalam dunia yang sering menggoda dengan kemewahan dan ketenaran, Haney tetap tegak dengan prinsipnya: menjadi petinju yang kuat di ring, dan hamba Allah yang rendah hati di luar ring.
Warisan muda yang terus tumbuh.
Di usia yang masih sangat muda, Devin Haney telah mencapai banyak hal yang dicita-citakan petinju sepanjang karier mereka. Tapi yang membuatnya benar-benar istimewa adalah bagaimana ia menjalani semua itu dengan keteguhan iman.
Ia membuktikan bahwa kemenangan sejati bukan hanya soal sabuk juara, tapi tentang bagaimana seseorang menjaga hati dan keyakinan di tengah ujian dunia.
Devin Haney adalah bukti nyata bahwa Islam tidak membatasi, tapi justru memberi arah dan kekuatan untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri.
9.Anthony Small.

Dunia tinju Inggris pernah memiliki sosok flamboyan dan penuh karisma bernama Anthony Small. Ia dikenal karena kecepatan tangan, kelincahan kaki, dan gaya bertarung yang menawan. Namun di balik semua itu, hidup Anthony Small berubah drastis ketika ia menemukan Islam — sebuah jalan spiritual yang kemudian membawanya ke arah yang sama sekali tak terduga.
Perjalanan hidupnya bukan sekadar kisah seorang juara yang menemukan agama, tapi juga tentang pencarian jati diri, kontroversi publik, dan konsekuensi dari keyakinan yang dipegangnya dengan keras.
Awal karier dan reputasi di ring.
Anthony Small lahir pada 20 Juni 1981 di Inggris, dan mulai dikenal publik sejak awal 2000-an. Ia memiliki gaya bertinju yang cepat, lincah, dan penuh percaya diri. Penonton menyukai caranya bermain — flamboyan tapi efektif, sedikit mirip dengan idolanya Muhammad Ali.
Small memulai karier profesional pada tahun 2004, dan dalam waktu singkat berhasil mencatat serangkaian kemenangan mengesankan. Tahun 2009 menjadi puncak kariernya ketika ia merebut gelar juara British dan Commonwealth kelas menengah ringan, dua sabuk bergengsi di Inggris.
Di atas ring, Small dijuluki “Sugar Ray Clay Jones Jr.”, gabungan nama tiga legenda besar — Sugar Ray Leonard, Muhammad Ali (Cassius Clay), dan Roy Jones Jr. Julukan itu mencerminkan gaya dan kepercayaan dirinya. Namun tak banyak yang tahu, di balik gemerlap sabuk juara itu, hidupnya mulai dipenuhi pertanyaan batin tentang makna hidup.
Momen titik balik: menemukan Islam.
Setelah mencapai puncak karier, Small mulai merasa hampa. Ia hidup di tengah dunia hiburan, pesta, dan uang, tapi merasa tidak punya arah. Dalam sebuah wawancara, ia mengaku sering merenung: “Saya punya sabuk juara, uang, dan nama besar, tapi tetap merasa kosong.”
Di masa inilah Small mulai tertarik pada Islam. Ia membaca Al-Qur’an, berdiskusi dengan teman-teman Muslim, dan akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam sekitar tahun 2009. Keputusan itu menjadi titik balik besar dalam hidupnya.
Small kemudian mengubah total gaya hidupnya. Ia berhenti minum alkohol, mulai beribadah lima waktu, dan mempelajari bahasa Arab untuk memahami Al-Qur’an. Ia juga mengganti penampilan — dari gaya glamor menjadi lebih sederhana, dengan janggut panjang dan pakaian tradisional Muslim.
Perubahan ini mengejutkan publik Inggris. Banyak penggemar yang tak menyangka petinju flamboyan itu kini menjadi sosok yang religius dan disiplin.
Konflik dan perlawanan terhadap dunia hiburan.
Setelah memeluk Islam, Small merasa dunia tinju dan hiburan tidak lagi sejalan dengan keyakinannya. Ia menilai banyak aspek dari industri itu bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Karena itu, ia memutuskan pensiun dini dari tinju profesional pada usia yang relatif muda.
Namun keputusannya itu justru membuka babak baru yang lebih kontroversial. Small mulai aktif menyuarakan pandangan politik dan keagamaan melalui media sosial serta ceramah publik. Ia mengkritik kebijakan luar negeri Inggris terhadap negara-negara Muslim dan menyerukan agar umat Islam kembali kepada ajaran yang murni.
Sayangnya, cara penyampaiannya sering dianggap ekstrem. Beberapa media Inggris bahkan menuduhnya memiliki simpati terhadap kelompok garis keras — tuduhan yang membuatnya jadi sorotan besar dan menghadapi tekanan hukum.
Kasus hukum dan citra publik yang hancur.
Pada tahun 2010-an, Anthony Small beberapa kali berurusan dengan aparat keamanan Inggris karena tuduhan terkait aktivitas ekstremisme. Ia sempat ditahan dan diadili atas dugaan keterlibatan dengan kelompok terlarang, meskipun kemudian dibebaskan karena tidak ada bukti kuat.
Namun sejak saat itu, citra publiknya berubah total. Dari mantan juara yang disegani, ia kini dianggap sebagai sosok yang kontroversial dan sulit diterima masyarakat Barat.
Bagi Small sendiri, semua itu dianggap sebagai ujian iman. Ia tetap kukuh dengan keyakinannya dan mengatakan bahwa “kebenaran sering kali membuat seseorang dibenci.” Ia menolak kompromi terhadap prinsip Islam yang diyakininya.
Meski demikian, banyak yang masih menghormatinya karena keteguhan dan keberaniannya menentang arus — sesuatu yang tidak semua orang mampu lakukan.
Islam sebagai kekuatan dan perlindungan.
Terlepas dari kontroversi politiknya, kehidupan spiritual Anthony Small mencerminkan transformasi besar. Ia mengatakan bahwa Islam menyelamatkannya dari gaya hidup yang menghancurkan.
Sebelum menjadi Muslim, Small mengaku sering terlibat dalam hal-hal negatif — pergaulan malam, pesta, dan kesenangan sesaat. Setelah mengenal Islam, ia merasa “terlahir kembali”. Ia mendalami ilmu agama, mengikuti pengajian, dan bahkan beberapa kali menjadi pembicara di acara komunitas Muslim.
Dalam banyak kesempatan, Small menegaskan bahwa Islam memberinya rasa damai yang tidak bisa dibeli. “Saya kehilangan ketenaran, tapi menemukan diri saya yang sejati,” katanya.
Kontras antara dua dunia.
Kisah Anthony Small memperlihatkan kontras tajam antara dua dunia:
- Dunia tinju profesional, penuh sorotan, kemewahan, dan ego.
- Dunia Islam, penuh kesederhanaan, disiplin, dan ketundukan kepada Tuhan.
Small telah merasakan keduanya — dan memilih yang kedua, meskipun konsekuensinya berat. Ia mungkin kehilangan fans dan reputasi, tapi memperoleh ketenangan batin yang tidak ternilai.
Kini ia lebih dikenal bukan sebagai mantan juara, tapi sebagai sosok yang teguh mempertahankan keyakinan meski harus melawan stigma dan tekanan sosial.
Warisan dan refleksi.
Anthony Small adalah contoh kompleks dari perjalanan spiritual seorang manusia modern. Dari ring tinju menuju kehidupan religius yang keras dan terisolasi, ia menjalani transformasi yang ekstrem. Banyak yang mengkritiknya, tapi tak sedikit juga yang menghormatinya karena keberaniannya untuk hidup sesuai keyakinan.
Kisahnya mengingatkan bahwa Islam bukan hanya tentang identitas, tapi tentang perubahan moral, arah hidup, dan pengendalian diri.
Dan seperti banyak petinju lain yang menemukan Tuhan setelah melewati masa kelam, Small juga menjadi cerminan bahwa iman sering lahir dari kekosongan di puncak kesuksesan.
10.Ruby Jesiah Mesu.

Di dunia tinju wanita yang keras dan penuh sorotan, nama Ruby Jesiah Mesu menonjol bukan hanya karena kemampuan bertinjunya, tetapi juga karena keberaniannya menjalani transformasi hidup yang luar biasa. Petinju asal Belanda ini membuat keputusan besar ketika ia memilih memeluk Islam, dan sejak itu hidupnya berubah total — dari gaya hidup barat yang bebas, menuju kehidupan penuh kesederhanaan dan spiritualitas.
Kisah Ruby bukan sekadar perjalanan atletik, tapi kisah pencarian makna hidup dan keberanian untuk berdiri tegak atas keyakinan di tengah tekanan sosial dan budaya yang sangat berbeda.
Awal karier dan kehidupan sebelum Islam.
Ruby Jesiah Mesu lahir dan tumbuh di Belanda, negara yang dikenal dengan kebebasan berpikir dan gaya hidup modern. Sejak kecil, ia sudah aktif di dunia olahraga, terutama seni bela diri. Ia menekuni kickboxing dan tinju sejak remaja, dan bakatnya langsung terlihat. Dengan disiplin dan semangat juang tinggi, Ruby berhasil menembus kompetisi nasional dan mulai dikenal sebagai petarung wanita tangguh.
Namun, di balik kesuksesan itu, Ruby merasa hidupnya hampa. Ia hidup di tengah gaya hidup barat yang serba cepat dan bebas, namun sering kali merasakan kekosongan batin. Di media sosial, Ruby sering mengunggah kehidupan glamor, tapi di balik layar, ia berjuang melawan kegelisahan dan rasa kehilangan arah.
Ia mulai bertanya-tanya: “Apakah hidup hanya tentang menang, uang, dan penampilan?” Pertanyaan sederhana itu menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya.
Titik balik menuju Islam.
Perjalanan Ruby menuju Islam tidak terjadi secara instan. Semuanya dimulai ketika ia mulai berkenalan dengan teman-teman Muslim di Belanda. Ia melihat bagaimana mereka hidup dengan ketenangan dan disiplin, bahkan di tengah kesibukan dunia modern. Hal itu membuatnya tertarik untuk mengenal lebih dalam ajaran Islam.
Ruby mulai membaca Al-Qur’an, menonton ceramah, dan berdialog dengan ustaz serta sahabat Muslim. Dari situ ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya — kedamaian batin yang tulus.
Perlahan tapi pasti, Ruby mulai meninggalkan gaya hidup lamanya. Ia berhenti berpakaian terbuka, mulai menutup aurat, dan lebih sering menghabiskan waktu untuk belajar agama. Hingga akhirnya, ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan resmi menjadi seorang Muslimah.
Tantangan sebagai mualaf dan atlet wanita.
Keputusan Ruby untuk menjadi Muslim tidak selalu diterima dengan mudah. Ia menghadapi berbagai reaksi keras dari publik, rekan-rekan di dunia olahraga, bahkan dari sebagian keluarganya sendiri.
Sebagai petinju wanita, keputusannya untuk berhijab juga menimbulkan kontroversi. Ada pihak yang mempertanyakan apakah ia masih bisa bertanding dengan peraturan tinju yang ketat soal pakaian dan penampilan. Namun Ruby tetap teguh. Ia menjelaskan bahwa keputusannya menutup aurat adalah bentuk ketaatan, bukan penghalang untuk berprestasi.
Di media sosial, Ruby bahkan sering membagikan pesan inspiratif bahwa seorang Muslimah bisa tetap kuat, modern, dan berprestasi tanpa kehilangan nilai-nilai agamanya.
Bagi Ruby, Islam bukan pengekang, tapi justru pembebasan dari tekanan dunia luar. Ia merasa lebih kuat secara mental dan spiritual, bahkan lebih fokus dalam latihan karena tak lagi dikuasai ego atau pencitraan.
Hidup baru dengan iman dan ketenangan.
Sejak menjadi mualaf, Ruby Jesiah Mesu menjalani kehidupan yang lebih sederhana dan bermakna. Ia tetap berlatih dan berkompetisi, tapi dengan niat yang berbeda — bukan lagi demi ketenaran, tapi sebagai bentuk syukur atas karunia yang diberikan Allah.
Ia juga aktif membagikan perjalanan spiritualnya melalui platform media sosial, menginspirasi banyak wanita Eropa untuk lebih mengenal Islam. Ruby menegaskan bahwa Islam mengajarkan kekuatan sejati bukan di otot, tapi di hati.
Perubahan Ruby juga membuat banyak orang terinspirasi. Di tengah dunia olahraga yang sering mengandalkan citra sensual, ia tampil berani dengan hijab, menunjukkan bahwa kehormatan dan keimanan bisa berjalan berdampingan dengan karier profesional.
Pesan dan inspirasi dari seorang pejuang sejati.
Dalam banyak wawancara, Ruby mengatakan bahwa keputusan menjadi Muslim adalah “pertarungan terbesar” dalam hidupnya — bukan melawan lawan di ring, tapi melawan hawa nafsu dan pandangan negatif orang lain.
Ia percaya bahwa iman adalah bentuk kekuatan tertinggi, dan bahwa setiap orang punya jalan menuju Tuhan dengan cara masing-masing. Islam membuatnya memahami arti disiplin sejati, ketenangan batin, serta rasa syukur yang sesungguhnya.
Kini Ruby dikenal bukan hanya sebagai petinju, tetapi juga sebagai ikon inspiratif bagi wanita Muslim di Eropa. Ia membuktikan bahwa iman tidak menghalangi ambisi, dan bahwa seorang atlet Muslimah bisa berprestasi dengan cara yang terhormat.
Warisan dan makna perjalanan hidup Ruby.
Kisah Ruby Jesiah Mesu adalah contoh nyata bahwa perubahan hidup bisa datang kapan saja, bahkan di dunia yang tampaknya jauh dari nilai-nilai spiritual. Dari ring tinju yang keras hingga menemukan cahaya Islam, Ruby menunjukkan bahwa ketenangan sejati tidak datang dari kemenangan, tapi dari kedekatan dengan Tuhan.
Sebagai seorang mualaf dan atlet, ia mengajarkan dunia bahwa wanita Muslim bukan simbol kelemahan, tapi lambang keteguhan dan keberanian. Ruby Jesiah Mesu adalah bukti nyata bahwa iman bisa membuat seseorang lebih kuat daripada pukulan apa pun di atas ring.
Tinju selalu dikenal sebagai olahraga yang keras. Pukulan, darah, dan keringat menjadi bagian dari kehidupannya. Namun di balik setiap pertarungan brutal, ternyata banyak kisah yang menyentuh sisi paling lembut dari manusia: pencarian makna hidup dan ketenangan hati.
Mulai dari Muhammad Ali, sang legenda abadi yang menjadikan Islam sebagai sumber keberanian moral; Mike Tyson, si “Monster” yang akhirnya menemukan ketenangan setelah badai panjang kehidupan; Dwight Muhammad Qawi dan Eddie Mustafa Muhammad, yang membuktikan bahwa iman bisa mengubah arah hidup seorang juara; hingga Bernard Hopkins, Matthew Saad Muhammad, Gervonta Davis, Devin Haney, Anthony Small, dan Ruby Jesiah Mesu — semuanya menunjukkan hal yang sama: iman bukan sekadar keyakinan, tapi juga kekuatan.
Di atas ring, mereka adalah para petarung. Tapi di luar ring, mereka adalah manusia yang mencari arti sejati dari kehidupan. Banyak dari mereka tumbuh di jalanan keras, hidup dalam lingkaran dosa dan kekerasan, namun akhirnya menemukan kedamaian lewat ajaran Islam yang menenangkan hati.
Islam tidak menghapus kekuatan mereka, justru memurnikan maknanya. Dari kemenangan yang bersifat duniawi, mereka beralih menuju kemenangan spiritual. Mereka tidak hanya menaklukkan lawan di atas ring, tapi juga menaklukkan ego dan masa lalu mereka sendiri.
Setiap kisah membawa pesan yang sama: bahwa hidup tidak hanya tentang sabuk juara, popularitas, atau kekayaan. Hidup sejati adalah perjalanan menemukan diri, mengerti tujuan, dan berserah kepada Tuhan.
Muhammad Ali pernah berkata bahwa keberanian sejati bukan ketika seseorang berani memukul, tapi ketika ia berani berubah. Dan itulah yang dilakukan oleh para petinju ini. Mereka berubah, bukan karena kalah, tapi karena ingin menang dengan cara yang lebih tinggi — menang atas diri sendiri.
Kini, nama-nama seperti Ali, Tyson, Haney, atau Ruby Jesiah Mesu bukan hanya dikenang karena prestasi mereka, tapi karena ketulusan hati yang mereka temukan di akhir perjalanan. Dari lampu terang ring tinju menuju cahaya Islam yang abadi, mereka mengajarkan dunia bahwa kekuatan sejati tidak selalu terlihat — kadang justru terasa di dalam jiwa yang damai.
Refleksi.
Seri ini adalah pengingat bahwa siapa pun bisa berubah. Bahwa di balik setiap manusia keras, selalu ada hati yang butuh kelembutan. Di balik setiap pukulan, selalu ada doa. Dan di balik setiap kemenangan, selalu ada pelajaran.
Para petinju ini mungkin berasal dari jalanan, dari lingkungan keras yang memaksa mereka bertarung demi bertahan hidup. Tapi pada akhirnya, mereka semua menemukan sesuatu yang lebih besar dari sabuk juara — yaitu ketenangan hati dalam Islam.
Mereka telah membuktikan bahwa iman bisa menumbuhkan keberanian, menghapus dosa, dan mengubah arah hidup siapa pun, tak peduli seberapa kelam masa lalunya.
Mereka tidak hanya meninju untuk menang — mereka berjuang untuk menemukan Tuhan.
#PetinjuMualaf #LegendaTinjuDunia #KisahInspiratif #PerjalananSpiritual #MuhammadAli #MikeTyson #DwightMuhammadQawi #BernardHopkins #EddieMustafaMuhammad #MatthewSaadMuhammad #GervontaDavis #DevinHaney #AnthonySmall #RubyJesiahMesu #TinjuDanIslam #JuaraYangBeriman #CahayaIslamDiRingTinju #IslamDanOlahraga #PetinjuMuslim #PerubahanHidup #MotivasiHidup #ImanDanKetenangan #DariRingMenujuSurga #TinjuDunia









